Sabtu, 14 Februari 2009

MENUJU PENGEMBANGAN PARIWISATA PULAU BAWEAN

MENUJU PENGEMBANGAN PARIWISATA PULAU BAWEAN
Oleh: Iling, Khairil Anwar, SS.

Pembangunan sebagai upaya sadar manusia dengan tujuan mencapai kemajuan peningkatan kesejahteraan hidupnya, selalu diupayakan dari masa ke masa. Pembangunan itu sendiri pada dasarnya merupakan upaya rekayasa terhadap sumberdaya alam yang ada. Sebagai upaya rekayasa tentunya setiap langkah pembangunan dihadapkan pada dua kemungkinan yang kontras, yaitu umpan balik positif atau umpan balik negatif. Untuk itu diperlukan kearifan dari manusia dalam setiap upaya langkah pembangunan. Kesalahan dalam pengambilan keputusan setiap langkah tahapan, akan berdampak begatif dengan kerugian yang sangat besar dan berdampak luas dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sehingga dibutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar dalam upaya perbaikannya. Begitu pula apabila kita tepat dalam pengambilan keputusan setiap langkah dan tahapannya, keuntungan yang bisa dinikmati akan sangat besar dan dapat dinikmati dalam jangka panjang.
Pemerintah Propinsi Jawa Timur pada tahun 2006 dengan mendasarkan pada potensi keindahan alam yang dimiliki Pulau Bawean telah memprogramkan pengembangan pariwisata di pulau ini. Dalam jargon PEMPROP JATIM disebutkan, “Menjadikan Bawean sebagai Balinya Jawa Timur”. Sebuah jargon yang terdengar sangat prestisius. Rencana pengembangan Pulau Bawean sebagai daerah tujuan wisata bukanlah wacana baru bagi masyarakat Pulau Bawean. Rencana semacam tersebut telah puluhan tahun dingiangkan dan berulangkali dipidatokan pejabat yang mengunjungi pulau ini. Namun hingga kini program tersebut belum juga direalisasikan dalam perencanaan yang matang baik dalam penyediaan sarana, penyiapan obyek maupun upaya promosi.
Dalam sejarah panjang wacana pengembangan Pulau Bawean sebagai daerah wisata, pro–kontra dikalangan tokoh maupun masyarakat luas telah pula mengiringi wacana tersebut. Kalangan yang pro terhadap rencana tersebut pada umumnya didasari pemikiran upaya pengembangan sektor ekonomi masyarakat Bawean. Sedangkan mereka yang kontra lebih banyak didasari pada pemikiran ketakutan akan terjadinya dekadensi moral dan budaya masyarakat Bawean akibat adanya kontak dengan para wisatawan yang datang mengunjungi Bawean. Kalangan ini berpandangan bahwa pada saat itu masyarakat Bawean belum memiliki kesiapan untuk masuk ke-era pariwisata. Kelompok yang kontra ini banyak datang dari kalangan tokoh agama baik perorangan maupun kelembagaan. Sebuah bahan pertimbangan yang harus dan wajib serta tidak dapat dinegasikan guna menjadi dasar pemikiran oleh pengambil keputusan dalam perencanaan pengembangan Pulau Bawean sebagai daerah tujuan wisata.
Seiring dengan perkembangan yang terjadi dikalangan masyarakat Bawean khususnya, dimana tingkat pendidikan masyarakat telah jauh lebih maju dalam skala masif, penolakan dari kalangan tokoh agama tersebut mulai melunak dengan mulai diterimanya program pengembangan pariwisata. Namun tentunya sikap menerima dari kalangan masyarakat tersebut masih memerlukan kearif bijaksanaan dari pemerintah. Penggunaan slogan Pemprop JATIM yang selama ini didengung-dengungkan, “Menjadikan Bawean sebagai Bali-nya Jawa Timur”, kami rasa kurang bisa diterima oleh sebagian tokoh agama Bawean. Pernyataan tersebut oleh sebagian tokoh agama dimaknai bahwa Bawean akan menjadi “foto copy-nya” Bali yang akan menghilangkan karakter masyarakat agamis Islami yang selama ini menjadi karakter tradisi budaya Bawean. Munculnya interpretasi yang seperti tersebut tentunya akan kontra produktif dengan perencanaan pengembangan pariwisata itu sendiri. Sehingga jalan terbaik yang mesti diambil adalah membuat perencanaan dan slogan yang tidak memancing munculnya reaksi negatif dari setiap element masyarakat Bawean.
POTENSI DAN TANTANGAN
Dalam perencanaan pengembangan pariwisata di Pulau Bawean, nampaknya baru potensi alam yang dijadikan sebagai modal potensi utama. Pulau yang hanya memiliki keliling 55 Km dengan 2 kecamatan ini, selain kontur alamnya yang berbukit-bukit memiliki danau dan air terjun pada bagain tengah pulau. Sedangkan pantai yang mengelilingi pulau ini sekitar 75%-nya merupakan pantai berpasir putih dan hitam dengan pemandangan yang indah serta terumbu karang hampir terdapat diseluruh laut Bawean. Namun sebuah realitas yang getir terungkap melalui penelitian terumbu karang diseputar Bawean oleh Mahasiswa Pecinta Alam Univ. Parahyangan, yang menyimpulkan bahwa terumbu karang disekeliling pulau Bawean telah rusak akibat pengeboman ikan, penggunaan potas untuk menangkap lobster, linggis pencari teripang dan jaring trol nelayan. Dua buah titik terumbu karang yang tidak rusak hanya terletak diseputar Pulau Gili. Tidak rusaknya terumbu karang diseputar Pulau Gili, kiranya tidak terlepas dari militansinya masyarakat nelayan Pulau Gili dalam menjaga lautnya. Tindakan militansi tersebut dilakukan hingga masuk kedalam kategori melanggar hukum (membakar kapal) para pelanggar hukum yang datang ke perairan Gili.
Beragam potensi alam tersebut sejauh ini telah dimanfaatkan tanpa mengikuti perencanaan pembangunan yang berkelanjutan. Pasir pantai hampir diseluruh pantai Bawean telah ditambang sebagai bahan bangunan. Jika kita amati pantai yang 5 tahun yang lalu masih indah dengan hamparan pasirnya, kini telah kehilangan pasirnya bahkan air laut telah menggerus lapisan tanah dibibir pantai. Danau Kastoba telah mengalami penurunan debit air sedalam kurang lebih 75 cm dan air terjun koddhuk-koddhuk dan lancar dimusim kemarau berubah menjadi tetesan air akibat telah gundulnya hutan di Bawean yang dibabati tanpa memperhitungkan faktor keseimbangan ekosistem dan pipanisasi air bersih yang dialirkan kepemukiman sebagai pemenuhan kebutuhan air bersih yang tanpa perencanaan yang matang dan pengelolaan yang profesional. Beginikah pembangunan ? Atau sebuah surat undangan bagi bencana ?
Surat undangan bagi bencana yang dikirim tersebut telah mendapat balasan dengan datang melandanya banjir dan lonsor di Pulau Bawean pada bulan Februari 2008 yang telah meluluhlantakkan pemukiman, sawah, ladang, ternak dan mental dengan kerugian miliaran rupiah. Sekali lagi, Beginikah pembangunan ? Atau sebuah surat undangan bagi bencana ?
Pertanyaan lainnya, apakah potensi Bawean untuk menjadi daerah pariwisata hanya keindahan alam Bawean saja? Setahu saya pengembangan suatu daerah wisata seperti Bali, Lombok, Yogya, Jakarta dll tidak terlepas dari pengembangan potensi tradisi budaya masyarakat setempat yang saling menunjang dengan potensi keindahan alam daerah tersebut. Bahkan Malaysia demi karakter budaya yang diharapkan bisa menjadi daya tarik wisata, rela menggadaikan harga dirinya dengan mengklaim reog ponorogo sebagai seni tradisi negaranya.
Dengan optimalisasi tradisi budaya sebagai salah satu daya tarik wisata suatu daerah, tidak hanya menjadikan daerah tersebut diminati wisatawan untuk di kunjungi. Optimalisasi tradisi budaya dalam pariwisata juga dapat berperan sebagai filter bagi bagi masyarakat setempat terhadap radiasi budaya asing yang dibawa wisatawan. Dalam hal ini berlaku logika ketergantungan pada tradisi budaya lokal sebagai daya tarik wisata yang apabila ditinggalkan oleh masyarakatnya akan menurunkan daya tarik bagi wisatawan untuk datang berkunjung ke daerah tersebut. Sebagai contoh adalah Bali yang hingga kini masih memiliki daya tarik yang kuat bagi wisatawan lokal dan asing, tradisi budaya masyarakatnya yang didasari Agama Hindu tetap terpelihara. Dan bukan tidak mungkin Bali akan menurun daya tariknya apabila masyarakat Bali meninggalkan Agama Hindu yang menjadi dasar tradisi budayanya. Dengan demikian kesadaran untuk memegang teguh ajaran agama beserta tradisi budaya yang didasarkan pada ajaran agama tersebut dikalangan masyarakat semakin kuat. Kesadaran tersebut di Bali tidak hanya di sadari oleh segelintir orang saja, melainkan telah masif hingga kelevel masyarakat di strata paling bawah. Kalangan kampus, pemerintah, Parisada Hindu Bali dan komponen adat hingga tingkat desa dan dusun berada dalam satu langkah pemikiran yang terprogram dengan baik dalam upaya-upaya konkrit menjaga kelestraian tradisi budaya Hindu Bali. Dengan pola pemikiran seperti tersebut, terwujudlah Bali sebagai daerah pariwisata terbesar di Indonesia yang masyarakatnya tetap teguh beragama Hindu yang melahirkan karakter budaya Hindu Bali yang khas.
Bawean jika ingin berkembang sebagai daerah tujuan wisata, potensi keindahan alamnya harus juga didukung potensi dibidang budaya masyarakatnya yang berkarakter khas. Menurut hemat penulis, Bawean memiliki potensi dibidang budaya dengan karakter khas yang bisa dijadikan sebagai titik picu, yaitu tradisi budaya masyarakat Bawean sebagai sebuah etnik tersendiri mandiri di Indonesia diantara banyak etnik lainnya yang menjadikan ajaran Agama Islam sebagai dasar roh jiwa budayanya.