Kamis, 22 Mei 2008

Kercengan Tradisional




KERCENGAN TRADISIONAL
Kercengan merupakan hadrah dalam bentuk tradisional Bawean. Alat musik yang dipergunakan terdiri dari sejumlah rebana/terbang khusus yang memiliki bidang badan yang lebar terbuat dari kayu. Membran sebagai penghasil suara memiliki ukuran kekencangan yang berbeda dengan terbang yang dipergunakan hadrah ISHARI.
Lagu-lagu yang dipergunakan pada awalnya diambil dari Kitab Barzanji. Namun pada perkembangan selanjutnya juga ditemukan syair-syair berbahasa Bawean maupun Indonesia yang temanya masih tetap seputar pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad serta ajaran syariat Agama Islam.
Kercengan Bawean juga dilengkapi dengan sejumlah 15 – 30 penari yang disebut dengan ruddet. Para penari ini duduk bersaf dalam 1, 2 atau 3 baris syaf. Gerakan-gerakannya banyak diinspirasi dari gerakan sholat dan huruf hijaiyah lafat-lafat suci Agama Islam.
Konon Kercengan baik yang menabuh maupun yang menari hanya dilakukan oleh pria saja. Namun saat ini banyak ditemui wanita sebagai vokalis dan pe-ruddet kercengan. Bahkan telah ada group kercengan yang keseluruhan personilnya adalah wanita (penabuh, vokal, dan ruddet).

Tari Kercengan Garapan




TARI KERCENGAN GARAPAN

Tari ini mendasarkan ide garapnya pada Kercengan tradisional Bawean pada musik dan gerakannya. Musik dan geraknya merupakan bentuk pamadatan dari berbagai irama kercengan. Perbedaan mendasar dari Kercengan tradisional Bawean adalah para penarinya yang melakukan gerakannya dengan berdiri dan membentuk beragam pola lantai.
Sebagai tari yang mengambil sumber gerak dari seni tradisi kercengan, karakter tari rancak tetap dipertahankan.
Tari ini menggambarkan keteguhan hati masyarakat Bawean dalam iman Agama Islam yang merupakan agama anutan masyarakat seluruh Bawean. Syair dan geraknya menggambar kecintaan pada Sang Khaliq Allah SWT dan kekasih hati utama Rasul Nabi Akhiruzzaman Muhammad SAW sang
pembawa kebenaran.

Pencak Panganten Tradisional

Bawean walaupun luas pulaunya hanya terdiri dari dua kecamatan, dikenal memiliki beragam bela diri tradisional. Diantara beragam jenis bela diri tradisional yang ada, hingga kini masih menggunakan pola latihan yang tradisional dan belum masuk kedalam organisasi Ikatan Pencak Silat Indonesia. Dari beragam pencak silat yang ada di Bawean, Pencak Panganten merupakan aliran yang paling menonjolkan keindahan gerak tanpa mengurangi teknik bela diri.
Pencak Panganten dimainkan oleh dua orang pendekar yang berlawanan dengan bersenjatakan sebilah pedang. Sebagai musik pengiring dipergunakan dua buah kendang yang dimainkan oleh dua orang dan sebuah gong sebagai element dasar. Sebagai pemanis digunakan kenong. Menurut para pendekar dan tetua Bawean, Pencak Panganten berasal dari Timur Tengah yang diciptakan olah Ali Bin Abutalib dengan ciri pembuka geraknya yang menuliskan lafat Allah dengan ujung pedangnya.

Seni Tradisi Jibul



JIBUL
Jibul merupakan kesenian tradisional Bawean yang merupakan seni bercerita yang dilagukan. Jibul dimainkan oleh seorang pemain yang sekaligus memainkan rebana besar sebagai musik latar pertunjukannya. Kisah-kisah yang diceritakan banyak diambil dari kisah kenabian atau yang bertemakan syariat ajaran Agama Islam.
Kesenian Jibul konon hanya dipertunjukkan pada hajatan mantenan atau sunatan di malam hari. Pertunjukannya biasanya di mulai dari setelah sholat Isya’ hingga masuk waktu Sholat Subuh.
Kesenian Jibul di tengah masyarakat Bawean saat ini telah tidak ditemukan lagi. Seniman jibul dapat dikatakan telah tiada. BEKU Bhei-Bhei dengan kepeduliannya mencoba menggali dan merekontruksi kesenian jibul dengan sumber data dari anggota masyarakat Bawean yang konon masih menyaksikan kesenian ini saat dipentaskan dan dimainkan.

Musik Tradisi Dikker




Kesenian Dikker konon berasal dari kosa kata Arab, yaitu ‘dzikir’ yang berarti menyebut dan mengagungkan nama Allah dan Nabi Muhammad. Dalam wujudnya yang tradisional, kesenian Dikker merupakan bentuk kesenian yang melagukan syair-syair Barzanji dengan irama lagu yang khas dan diiringi dengan alat musik rebana berukuran besar. Ke khasan irama syairnya yang mendayu dalam tempo yang lamban, ditingkahi dengan tetabuhan rebana-rebana besar yang bersuara bas, lebih menghadirkan suasana sakral.
Dikker biasanya dimainkan oleh 5 hingga 8 orang yang mana semua personilnya merangkap sebagai penabuh dan vokal maupun lead vokal. Permainan rebananya juga memiliki perbedaan antara setiap penabuh. Salah satu dari penabuh berperan meningkahi tabuhan rebana lainnya. Sehingga terbangun dinamika musik tradisional Dikker Bawean.
Pada tradisi masyarakat Bawean, kesenian Dikker hanya dapat kita jumpai pada perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. Pada perayaan tersebut yang di Bawean berlangsung dengan meriah sepanjang hari, musik tradisional Dikker dimainkan sejak pagi hingga menjelang sore hari.

Kolaborasi Mandiling, Dikker, Korcak dan Kercengan

Format karya ini pada awalnya berangkat dari upaya memperkenalkan kesenian tradisi Bawean pada kalangan muda Bawean yang pada saat itu mulai enggan memainkan Kercengan, Mandiling maupun seni tradisi Bawean lainnya. Dengan menumpang popularitas Kyai Kanjengnya Emha Ainun Najib pada saat itu dimulailah mengenalkan ragam kesenian tradisional Bawean pada sejumlah anak muda. Pada perjalanan selanjutnya, dimana rasa percaya diri sebagai pewaris pemiliki kesenian etnik Bawean mulai tumbuh dikalangan personil, lahirlah beberapa nomor lagu yang irama maupun musiknya berakar uratkan kesenian tradisional Bawean. Upaya uji coba ini ternyata banyak mendapat respon positif dari masyarakat Bawean yang menyukai lagu-lagu format garapan ini. Tanggapan lancar.
Kami sendiri yang miskin dalam hal konsep musik kesenian, hingga kini tidak dapat memformulasikan dalam sebuah konsep tentang hasil uji coba ini. Penamaan kolaborasi Mandiling, Dikker, Korcak dan Kercengan dalam sebuah garapan sebagaimana tersebut diatas, sebagai wujud manifestasi ketidak tahuan atas genre jenis apa hasil racikan adonan beragam kesenian tradisi Bawean yang kami hasilkan dalam klasifikasi musik yang ada. ( ? ). Siapapun yang berminat memberi analisa terhadap genre musik ini atau memperdebatkannya kami persilahkan saja. Yang pasti harapan kami agar analisa dan perdebatan yang terjadi jangan mengganggu aktifitas kami dalam ngarabete seni tradisi Bawean.

Pop Daerah Bawean


Lagu pop daerah Bawean yang kini dikembangkan oleh BEKU Bhei-Bhei memiliki jalinan benang merah dengan musik berirama Melayu yang telah berkembang di Bawean sejak adanya kebiasaan merantau masyarakat Bawean ke Singapore pada tahun 1850-an. Musik berirama Melayu di Bawean mengalami puncaknya pada awal kemerdekaan dengan terbentuknya Group Bunga Seroja Bawean yang banyak melahirkan lagu-lagu yang bertemakan kerinduan akan keluarga yang berada diperantauan baik dalam Bahasa Melayu maupun Bahasa Bawean. Namun sayang tidak semua lagu dari era Group Bunga Seroja Bawean ini sampai ke era BEKU saat ini, karena lagu-lagu tersebut tidak terekam dalam bentuk kaset maupun dalam bentuk tulisan dengan partitur nadanya yang mesti ada tidak dapat kami baca.
Beberapa orang seniman Bawean yang kemudian merantau ke Singapore, ternyata di perantauan sukses mengembangkan musik pop Melayu dengan syair berbahasa Bawean. Bahkan mereka mengeluarkan album yang sukses di pasaran. Beberapa nama seperti Kasim Muhammad dengan album lagu Aongghe’e Ka Ratana dan Angkok-Angkok Bilis melegenda di Singapore dan Malaysia disamping beberapa nama lainnya yang juga berasal dari Bawean.
BEKU Bhei-Bhei sebagai Group yang juga mencoba mengangkat kembali kekayaan masa lalunya tanpa mengurangi kreativitas kekinian, selain merecycle lagu-lagu dari era Group Bunga Seroja Bawean seperti Engak-Engak Loppa dan Amempe, juga mencoba melahirkan nomor-nomor lagu baru. Bahkan telah dicoba mengangkat Mandiling kedalam irama pop rock. Upaya BEKU Bhei-Bhei dalam mengangkat kembali musik daerahnya ini telah dibuktikan dengan 3 album idie label.

Tari Mandiling Garapan


Tarian ini merupakan tari pergaulan yang mengambil ide dasar garapan dari Mandiling tradisional Bawean.
Tari ini merupakan tari garapan baru yang mengeksplorasi kekayaan seni tradisi yang berkembang di masyarakat Bawean yang memiliki seni tradisi Mandiling sebagai sumber inspirasi dalam penggarapan tari ini. Tarian ini menggambarkan bertemunya para remaja dalam suasana keceriaan dalam mengobati kerinduan terhadap
keluarga dan kekasih hati yang datang dari perantauan. Tari Mandiling kiranya layak dijadikan sebagai tari penyambutan selamat datang khas Bawean.
Karakter masyarakat Pulau Bawean yang dinamis dengan mengakrabi laut, yang konon dimasa lalu daerah ini merupakan pelabuhan transit kapal dagang dan kini masyarakatnya menjadi perantau ke mancanegara dengan tetap mengakrabi deru ombak, tergambar dalam gerak tari yang energik dinamis.
Masa lalu dan masa kini masyarakat Bawean tersebut, telah menjadikan masyarakat Pulau Bawean bertemu dengan beragam budaya luar pulaunya, yang mendorong terjadinya akulturasi budaya yang berujung pada lahirnya ragam seni budaya dari masa ke masa. Melalui proses tersebut, kini dapat kita temukan beragam unsur budaya luar Bawean di tengah tradisi Masyarakat Bawean yang wujudnya telah mengalami perubahan dan penyesuaian dengan kondisi dan karakter dasar budaya masyarakat Bawean.
Pola gerak tari ini mengambil sumber gerak tari tradisi Mandiling dan pencak silat Bawean, yang digarap padukan dengan tetap mengacu kepada konsep estetika seni tari yang ada. Kekhasan gerak ala Baweanan sebagai sumber inspirasi dengan gelegar emosi masyarakat pantai yang mobilitasnya tinggi, dijadikan roh gerak yang mengejewantah dalam gerak yang rancak energik.
Musik iringan tari Mandilingan ini juga sepenuhnya mengambil sumber inspirasi dan roh ragam musik tetabuhan yang berkembang sebagai tradisi di Masyarakat Pulau Bawean. Musik tradisi yang di masyarakat Bawean dikenal dengan nama Mandiling, musik iringan pencak, Kercengan dan lagu khas daerah Bawean baik yang menggunakan syair barzanji maupun syair pantun yang berisi nasehat hingga yang genit menggelitik, dikemas padukan mengikuti kebutuhan gerak dan emosi serta roh yang dibangun dalam garapan tari ini.
Sebuah pencapaian gemilang dari nomor tari ini adalah, tarian ini telah diakui di tingkat Propinsi Jawa Timur maupun nasional sebagai tari khas Bawean. Dalam pagelaran promo wisata Jawa Timur ke Australia tahun 2006 dan 2007, Tari Mandiling telah menjadi salah satu nomor tari yang dipentaskan.

Mandiling Tradisional

Mandiling merupakan salah satu kesenian tradisional Bawean yang hingga kini masih hidup dan dapat kita saksikan di Pulau Bawean. Kesenian Mandiling pada dasarnya merupakan seni berbalas pantun yang dinyanyikan dengan iringan jidor, gong, akordion, guitar, bas dan biola. Namun saat ini Mandiling yang hanya kita temui di Desa Daun hanya diiringi dengan jidor dan gong saja walau konon group Mandiling dari desa ini juga menggunakan alat-alat melodis diatas sebagai musik pengiringnya.
Mandiling dimainkan oleh 1 hingga 4 pasang orang yang secara bergantian menyanyikan pantun sambil menari. Pantun yang dinyanyikan menggunakan Bahasa Bawean sebagai bahasa pengantar yang bersifat berkait (berbalas) antar pantun yang dinyanyikan bergantian. Tema pantun beragam dari persoalan ahlak moral hingga percintaan yang fulgar menggelitik.
Dalam Mandiling tradisional yang berpasangan, pemeran wanita dimainkan oleh orang laki-laki yang berdandan, berpakaian wanita. Tingkah tarian dan pantun si wanita ini yang selalu melahirkan kelucuan dalam pertunjukan. Konon diperankannya tokoh wanita dalam Mandiling oleh orang laki-laki dilandasi pemahaman ajaran Agama Islam masyarakat Bawean yang melarang wanitanya menari dan menyanyi.
Mandiling yang dalam tradisi Bawean ditampilkan dalam hajatan dan dipertontonkan dimuka umum, merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional Bawean yang banyak digemari oleh masyarakat Bawean. Alunan syair pantun yang genit menggelitik selalu mengundang senyum dan tawa dari penonton yang hadir menyaksikan. Iringan musik jidor dan gong yang rancak, tak ayal sering mengundang penonton untuk turut larut menari dan berpantun di pasamoan.

Deskripsi Budaya: Menjadi Bawean

Menjadi Bawean
oleh: Iling Khairil Anwar SS

Bawean sebagai daerah kepulauan yang merupakan bagian wilayah Kabupaten Gresik memiliki karakter budaya yang berbeda dengan masyarakat Gresik yang hidup di daratan. Bahkan Antropolog Ayu Sutarto mengelompokkan Bawean sebagai salah satu kelompok etnik yang terdapat di JATIM.
Bawean tak hanya lentiknya daun nyiur ditepi pantai yang ibarat jari perawan, atau derasnya air terjun ringgit dan dolar ibarat rambut terurai, atabe tenangnya air kastoba yang ibarat begawan. Namun ia juga menyimpan budaya yang kilatnya takkalah oleh kilau batu onyx yang banyak di Bawean, dinamisnya tak kalah oleh deburan ombak dipantai, lenggoknya takkalah oleh ikan hias disela terumbu karang.
Budaya Bawean secara historis merupakan hasil sintesa akulturasi dari berbagai budaya yang datang ke Bawean maupun yang dijemput masyarakat Bawean ke daerah asalnya. Akulturasi tersebut telah mewujudkan satu bentuk karakter budaya baru yang unik dan kini dikenal dengan budaya masyarakat Bawean. Imanuel Subangun sosiolog dan wartawan senior KOMPAS pernah menulis tentang Bawean di Harian KOMPAS yang berbunyi, “Sumatra + Jawa + Madura + Kalimantan + Sulawesi = Bawean”. Rumusan Subangun tersebut didasari realitas kultural manusia Pulau Bawean yang merupakan akulturasi dari 5 budaya luar dan budaya Bawean selaku kultur tuan rumah. Hal tersebut terjadi akibat letak geografis Pulau Bawean di tengah Laut Jawa yang merupakan titik temu dari beberapa jalur pelayaran tradisional Nusantara dengan peran Pulau Bawean sebagai pulau transit. Faktor pemicu yang lain adalah kebiasaan alajer (berlayar) hingga keluar negeri masyarakat Bawean yang telah mensejarah dan yang terus hidup hingga saat ini. Hasil akulturasi berbagai budaya tersebut menjadikan kultur Pulau Bawean nampak unik jika dibandingkan wilayah Gresik pesisir dan daratan.
Mariam bin Moh. Ali (1997) menyatakan bahwa budaya Bawean sebagai wujud yang terbentuk dari masyarakat diaspora, merupakan sebuah fenomena yang dinamis. Lebih lanjut Mariam menyatakan, fenomena tersebut tidak dapat dikhususkan pada satu tempat atau satu ciri pokok saja. Ia memiliki berbagai manifestasi yang telah disesuaikan dengan lingkungan prakteknya. Hal tersebut nampak pada fariasi penggunaan Bahasa Bawean sebagai salah satu contoh.
Adalah Jacob Vredenbregt seorang antropolog berkebangsaan Belanda yang meneliti budaya masyarakat Bawean antara Tahun 1962-1965 yang menyatakan bahwa masyarakat Bawean memiliki tradisi bermigrasi. Hasil Census of the Colony of Singapore 1849 menyatakan bahwa warga Bawean di Singapore terdapat sebanyak 763 jiwa yang dikenal dengan sebutan Etnis Boyan.
Faktor lain pembentuk budaya Bawean adalah historis pulau ini. Menurut Khairil (1998, 2000, 2002) Faktor religi masyarakat pulau Bawean di ketahui bahwa konon masyarakat Bawean juga menganut animisme dinamisme sebagai bentuk religi tertuanya. Kemudian masuk dan berkembang agama Budha di Pulau Bawean dengan bukti ditemukannya arca Dwarapala berciri ikonografis Budha dan stupika tanah liat. Selanjutnya baru berkembang Agama Islam yang kini menjadi agama utama seluruh masyarakat Bawean. Khairil juga menuliskan bahwa faktor politik yang terjadi atas pulau ini juga banyak berpengaruh terhadap wujud etnis Bawean. Keletakan Pulau Bawean yang berada ditengah laut jawa sangatlah strategis sebagai pulau transit perdagangan lintas pulau dan negara di masa lalu dalam memenuhi kekurangan perbekalan dalam pelayaran. Akibatnya Pulau Bawean tercatat telah diperebutkan oleh banyak kerajaan di sepanjang masa. Prasasti Sorodakan menyebutkan bahwa Bawean yang mungil berada di bawa kekuasaan Majapahit. De Graff menuliskan bahwa pada tahun 1593 Bawean berada di bawah kekuasaan Jepara, tahun 1622 telah mengakui kekuasaan Surabaya atasnya, tahun 1659 datang Mataram sebagai penguasa, kemudian Cakraningrat dari Madura menggantikannya sebelum diambil alih bangsa eropa di tahun 1784 M. Sebagai transit perdagangan laut, segalibnya orang-orang dari Sulawesi, Kalimantan dan pulau dan negara lainnya juga berlabuh di pantai Bawean dan bergaul dengan masyarakat yang ada. Ragam asal budaya yang datang maupun dijemput masyarakat Bawean keluar pulaunya, yang terus berproses sepanjang masa dengan berpijak pada lingkungan fisik pulaunya yang mungil dan mini, melahirkan wujud budaya yang melengkapi keberadaan kelompok etnik Jawa Timur menjadi 10 kelompok etnik dengan etnik Bawean sebagai salah satunya.

Selasa, 13 Mei 2008

Menghutankan Hutan Bawean Demi Kehidupan

Dengan belajar dari pengalaman dimana bencana banjir (5 Februari 2008) dan longsor (6 Maret 2008) yang melanda Pulau Bawean telah menyebabkan kerugian material bagi masyarakat dalam jumlah miliaran rupiah, dimana banjir telah merendam sawah dan rumah penduduk dan longsor telah melululantakkan 78 rumah, 2 mushollah dan 1 masjid, baru terjadi setelah hutan Bawean gundul menghilang. Hutan lindung Bawean maupun suaka alam Bawean dalam realitasnya hanyalah berupa papan nama berukuran kecil yang catnya telah mengelupas dengan hutan yang abstrak.

Lembaga Eskavasi Budaya Beku Bhei-Bhei bersama seluruh element masyarakat Bawean menyelenggarakan aksi peduli alam dengan tema “Menhutankan hutan Bawean dengan menanam, memelihara dan menjaga hutan demi kehidupan”.

Bentuk kegiatan ini berupa :

• Penanaman 20.000 bibit tanaman hutan

• Kampanye pentingnya hutan bagi kehidupan

Kegiatan ini diselenggarakan pada Tanggal 12 April 2008 di Desa Paromaan Kec. Tambak Pulau Bawean Kabupaten Gresik yang merupakan lokasi bencana longsor pada Tanggal 6 Maret 2008 yang lalu. Dalam aksi reboisasi ini hadir langsung Penasehat LEB BEKU Bhei-Bhei, Bpk. H.M. Sastro Soewito SH. M.Hum. yang juga menjabat sebagai Wakil Bupati Gresik. Dalam sambutannya beliau menyatakan pentingnya keberadaan hutan dalam menjaga keequilibriuman eqologi yang memiliki peranan sangat sentral bagi kehidupan manusia di muka bumi. Keberadaan hutan sangat sentral dalam upaya menghindari terjadinya global warming yang saat ini telah menyebabkan kenaikan permukaan air laut dan tingginya curah hujan di muka bumi yang karena hutan bawean telah rusak telah pula menyebabkan banjir dan longsor. Lebih lanjut Wakil Bupati Gresik tersebut menyatakan agar masyarakat Bawean agar tidak segan-segan untuk melaporkan kepada petugas hukum yang ada di Bawean apabila menemukan pelaku pencurian kayu hutan di kawasan hutan lindung Bawean. Dalam kesempatan tersebut H.M. Sastro Soewito SH. M.Hum. yang juga penasehat LEB BEKU Bhei-Bhei memberikan bantuan kepada korban longsor di Dusun Candi Desa Paromaan Kecamatan Tambak berupa makanan siap saji.

Menurut Drs. Cuk Sugrito Budayawan senior Bawean yang juga penasehat LEB BEKU Bhei-Bhei, melalui kegiatan ini LEB BEKU Bhei-Bhei ingin menggugah kesadaran seluruh masyarakat Bawean yang diawal tahun 2008 ini mendapat bencana banjir dan longsor akan pentingnya hutan bagi kehidupan kita bersama. Lebih lanjut beliau mengajak seluruh masyarakat Bawean dari element apapun agar segera sadar dan mulai aktif dalam menanam, memelihara dan menjaga hutan di Bawean demi kesejahteraan bersama seluruh masyarakat Bawean. Atas terselenggaranya acara ini, LEB BEKU Bhei-Bhei ingin mengucapkan banyak terimakasih atas antusiame masyarakat Bawean yang ikut mendukung suksesnya acara ini. Kepada PT. Semen Gresik (Persero), KM. Expres Bahari, ABRI, segenap Pejabat Kabupaten Gresik, Para Kyai Bawean, KSDA Bawean, Pelajar dan Pramuka Gresik dan Bawean, Ikatan Alumni Paskibraka Kab. Gresik dan seluruh masyarakat Bawean yang telah membantu suksesnya kegiatan ini.
Ketua Umum LEB BEKU Bhei-Bhei menyatakan, "Harapan kami kegiatan ini tidak hanya berlangsung kali ini dan oleh kami saja. akan tetapi ada kelanjutan dan usaha untuk mengembalikan keequilibriuman hutan Bawean sebagai upaya menghindari bencana seperti yang telah terjadi. LEB BEKU Bhei-Bhei kedepan akan mencoba memprogramkan reboisasi kawasan hutan bawean yang kini dalam kondisi rusak dengan melakukan kerjasama dengan seluruh masyarakat Bawean, instansi pemerintah terkait, pihak swasta maupun perorangan yang mempunyai kepedulian terhadap Bawean".

Festival Maulid Nusantara-3 di Jakarta Islamic Center

Tanggal 14-20 Maret 2008 Lembaga Eskavasi Budaya Beku Bhei-Bhei sebagai duta Propinsi Jawa Timur dalam Festival Maulid Nusantara 3 di Jakarta Islamic Center menampilkan Prosesi Tradisi Maulid Nabi Masyarakat Bawean. Beku dengan personel 43 orang dan di dampingi 2 orang penasehatnya, yakni Bp.H.M. Sastrosuwito.SH.M.Hum (Wakil Bupati Gresik) dan Bp. Drs. Cuk Sugrito, dalam prosesi itu menampilkan Molod Bawean lengkap dengan berkat dan “tongghul”-nya. Tradisi Maulid Nabi ala Bawean oleh Beku Bhe-Bhei disajikan dalam bentuk seni pertunjukan (performent art) yang didalam sajiannya menampilkan kesenian tradisi Bawean berupa Jibul, Dikker, Kercengan Tradisional, Pencak Bawean, Tari Kercengan Garapan, serta Tari Mandiling Garapan.






Dalam festival itu, penampilan Duta Jawa Timur yang diwakili oleh beku Bhei-Bhei keluar sebagai peserta favorit dan 5 penampil terbaik non rangking. Menurut Ketua Umum LEB BEKU Bhei-Bhei, Iling Khairil Anwar SS, prestasi tersebut menunjukkan bahwa budaya bawean merupakan potensi bagi Jawa Timur untuk dikembangkan sebagai obyek pariwisata disamping keindahan alam pulau Bawean.

Event Beku

Lembaga Eskavasi Budaya Beku Bhei-Bhei berusaha menggali dan mempertahankan kesenian dan kebudayaan masyarakat bawean. Event-event ini adalah beberapa cara untuk dapat mewujudkan tujuan tersebut.
  • Penyelenggara Penanaman 20.ooo pohon di Lokasi Bencana Longsor di kecamatan Sangkapura dan Tambak, Bawean.
  • Peserta favorit dan 5 Penampil terbaik dalam Festival Maulid Nusantara ke-3 di Jakarta Islamic Centre
  • Ikut serta menggarap Pengantin Adat Bawean yang keluar sebagai 5 Penyaji terbaik pada Festival Cak Durasim.
  • Tampil dalam Hafalah Sholawat di Masjid Agung Surabaya pada tahun 1999.
  • Sebagai piƱata musik iringan tari mandiling garapan yang telah dipentaskan di TMII Jakarta, gedung Grahadi Surabaya, dan Taman Budaya Jawa Timur. dsb
  • Tampil Dalam “Gelar Kesenian Bawean Etalase Kesenian Etnik Jawa Timur” di Pendopo Taman Budaya Jawa Timur.pada tanggal 21 April 2007 .
  • Penyaji Pameran Budaya Panganten Adat Bawean dalam kunjungan Dinas Pariwisata Prop. JATIM di Pulau Bawean dengan segenap wartawan media cetak dan elektronik.
  • Penyambut Kedatangan MENKOMINFO Prof. Dr. H Muhammad Nuh Mt, dan Tampil Bareng Budayawan Ainun Najib, Nofia Kolopaking bersama Kiai Kanjeng di Bawean.
  • Pementasan dalam Hari Jadi Kota Gresik tahun 2000,2003,2006.