Rabu, 25 Juni 2008

Pameran Budaya Panganten Adat Bawean

Moment pernikahan adalah moment sakral bagi masyarakat luas. Oleh karena itu di tiap daerah mempunyai prosesi pernikahan yang berbeda sesuai dengan budaya masing-masing. Begitu pula di Bawean. Prosesi pernikahan adat Bawean digelar 7 hari 7 malam lengkap dengan segala properti dan prosesi adat yang merupakan bagian dari upacara panganten yang mempunyai makna tersendiri.

Dalam kunjungan rombongan Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Timur dan diliput beberapa stasiun televisi swasta beserta wartawan media cetak, LEB Beku Bhei-bhei mencoba mengemas upacara panganten tersebut menjadi satu malam. Dengan tidak mengurangi esensi dari prosesi panganten adat tersebut.

Pameran budaya panganten adat Bawean yang digelar tanggal 10 Mei 2007 ini dimulai dari penampilan kesenian dhungka sebagai tanda ada perhelatan pernikahan, proses “Panganten A’ Totongghu” oleh pengantin wanita lalu proses “Panganten Matammat-tammat / Nammattaken” yaitu khataman Al-Qur’an dengan lagu yang khas dan prosesi lain yang menjadi rangkaian upacara pernikahan adat juga ditampilkan dalam pameran budaya kali ini. Tari mandiling tradisional, Kercengan Tradisional, Korcak, Pencak Panganten, Tari Mandiling Garapan dan Tari Kercengan garapan melengkapi kemeriahan dan kesuksesan Pameran Budaya kali ini.

GELAR KESENIAN BAWEAN

Etalase Kesenian Etnik Jawa Timur

Tidak hanya di Bawean dan Gresik, LEB Beku Bhei-Bhei juga menampilkan kesenian dan budaya Bawean di Surabaya. LEB Beku Bhei-Bhei mencoba membawa kesenian Bawean ditengah-tengah masyarakat Surabaya dan perantau Bawean yang ada di Surabaya tentunya, menampilkan kesenian bawean yakni Mandiling Tradisional, Tari Mandiling Garapan, Kercengan Tradisional, Tari Kercengan Garapan, Pencak Panganten, Jibul, Dikker, dan Lagu Pop Daerah.

Gelar Kesenian Bawean yang di tampilkan di Pendopo Taman Budaya Jawa Timur pada tanggal 21 April 2007 ini juga memperkenalkan jajanan khas Bawean, seperti posot-posot, bubur sum-sum, koncok-koncok, abuk-abuk, jengkong, dhudhul tikar, dan karupuk sangngar yang pada malam itu bebas dihidangkan untuk seluruh penikmat acara.

Untuk lebih mengenalkan kesenian dan budaya Bawean dalam event ini kami juga memperkenalkan salah satu souvenir khas Bawean berupa anyaman pandan dalam bentuk tikar dan tas dengan berbagai corak dan desain. Malam kesenian ini dihadiri oleh Wakil Bupati Gresik Bp. Sastrosuwito M.Hum, Kepala Taman Budaya Jawa Timur Drs. Pribadi Agus Santoso M.M dan Budayawan Bawean. Penampilan yang di siarkan beberapa kali oleh pihak TVRI dalam program acara Kesenian Jawa Timur ini disajikan oleh 38 orang seniman yang tak lain adalah anggota LEB Beku Bhei-Bhei.

Selasa, 24 Juni 2008

Mbhe Rambheje

Kubur Embhe Rambheje secara administratif berada di wilayah Dusun Suwaritimur, Desa Suwari, Kecamatan Sangkapura. Keletakan kubur tokoh ini berada di halaman belakang Masjid Suwaritimur yang dikelilingi perkampungan. Untuk menuju kelokasi kubur ini dari jalan lingkar Bawean yang melalui Desa Suwari, masuk melalui jalan desa yang telah diperkeras dengan beton cor sejauh 30 meter melalui perkampungan. Diujung jalan masuk kita akan sampai ke Masjid Suwaritimur.
Kubur tokoh Embhe Rambheje dikelilingi kubur masyarakat Dusun Suwari Timur. Namun pekuburan ini saat ini telah tidak dipergunakan lagi. Kubur tokoh Embhe Rambheje akan terlihat mencolok ditengah kubur-kubur lainnya. Ciri sebagai pembeda dengan kubur lainnya adalah terdapatnya pagar batu yang melingkari kubur ini. Pagar batu tersebut menggunakan bahan batu kali yang tidak dibentuk. Batu-batu tersebut ditata meninggi sedemikian rupa tanpa diberi perekat. Pagar batu yang memiliki denah persegi empat tersebut, memiliki sebuah pintu masuk yang berada di sisi Selatan. Pagar batu ini memiliki ukuran panjang 410 cm, lebar 498 cm, tinggi 70 cm dengan ketebalan dinding batu 80 cm.
Pada bagian dalam sisi pagar batu, terdapat tiga pasang nisan yang tanpa diberi jirat kubur. Kubur Embhe Rambheje berada di sisi tengah yang diapit dua kubur lainnya. Kedua kubur yang mengapit kubur Embhe Rambheje, oleh masyarakat setempat sudah tidak dikenali lagi nama tokoh yang dikuburkan dalam satu kawasan pagar itu. Ketiga pasang nisan yang ada menggunakan bahan batu andesit alami yang tidak dibentuk. Nisan Embhe Rambheje tersebut memiliki ukuran lebar 32 cm, tebal 9 cm, tinggi 34 cm dengan jarak antar nisan 125 cm.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Suwari, tokoh Embhe Rambheje adalah merupakan tokoh pembawa Agama Islam di desa tersebut. Melalui peran tokoh ini masyarakat Suwari akhirnya menjadi pemeluk Agama Islam. Sebagai tokoh yang mengajarkan syariat Islam, Embhe Rambheje juga mendirikan masjid Suwaritimur yang kini berada dalam satu kompleks dengan kuburya.

Sabtu, 21 Juni 2008

Korcak

Seni tradisi Bawean yang kini kondisinya juga berada diambang kepunahan salah satunya adalah Korcak. Saat ini di Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean, group atau perkumpulan korcak hanya tinggal 2. Yakni group yang ada di Dusun Koddhuk-Koddhuk dan Sokela Desa Patar Selamat yang menghimpun diri dalam satu group, dan group lainnya berada di Dusun Menara Desa Gunungteguh. Walaupun jumlah group perkumpulan Korcak tinggal 2, intensitas penampilan kesenian ini masih cukup tinggi. Biasanya mereka banyak mendapat undangan tampil dalam hajatan pernikahan atau sunatan.
Dalam penampilannya Korcak dapat di bedakan kedalam dua bentuk pertunjukan. Bentuk pertama korcak dimainkan sebagai musik arak-arakan yang di Bawean umumnya dalam arak-arakan penganten Bawean. Dalam format bentuk ini para penabuh kendang dan peruddat dengan rebananya dimainkan dalam formasi barisan arak-arakan yang memainkan musik korcak sambil berjalan. Bentuk format kedua, Korcak dimainkan diatas sebuah pentas atau pasamoan. Dalam format bentuk ini pemain
kendang duduk berhadapan. Sedangkan para peruddat mengawali permainan geraknya dengan duduk bersyaf dalam 2, 3, atau 4 syaf barisan tergantung pada jumlah peruddatnya. Dalam Format bentuk kedua ini para peruddat memainkan rebana sambil melakukan gerakan tarian rancak. Gerakan tarian korcak berlangsung dalam irama yang cenderung lamban. Gerakan peruddat dilakukan baik dalam formasi duduk maupun berdiri. Didalam seni tradisi korcak Bawean seluruh pemain yang terdiri dari penggendang dan peruddat penabuh rebana, semuanya juga berfungsi sebagai vokalis yang menyanyikan syair-syair yang diambil dari kitab Barzanji ,maupun ajaran-ajaran syariat ataupun akhlaq Agama Islam yang biasanya menggunakan Bahasa Bawean.
Seni tradisi korcak menggunakan alat musik berupa rebana dan 2 buah kendang atau yang dalam bahasa Bawean dikenal dengan nama dhung-dhung. Kedua kendang tersebut dalam sebuah irama lagu dimainkan oleh dua orang yang saling menimpali antara satu kendang yang dimainkan secara neter dan kendang lainnya yang dimainkan menimpali (nempale) kendang pertama. Rebana dalam seni tradisi Korcak selain dimainkan sebagai alat musik juga dimainkan sebagai property tarian oleh para peruddat yang berjumlah antara 20 hingga 50 orang. Jenis rebana yang digunakan dalam Korcak memiliki membran yang rentangannya tidak terlalu kencang. Setiap rebana memiliki kencer 2 atau 3 pasang yang pada saat-saat tertentu kencer tersebut dimainkan secara khusus.

Rabu, 18 Juni 2008

Pencak Panganten Bawean

Bawean walaupun luas pulaunya hanya terdiri dari dua kecamatan, dikenal memiliki beragam bela diri tradisional. Diantara beragam jenis bela diri tradisional yang ada, hingga kini masih menggunakan pola latihan yang tradisional dan belum masuk kedalam organisasi Ikatan Pencak Silat Indonesia. Ragam pencak silat tradisional tersebut diantaranya Konto, Pokolan, dan Pencak. Ketiga jenis ini selain bela diri tangan kososng, juga menggunakan permainan senjata seperti belati, pedang, tikpi (trisula), dan tembung (tongkat galah). Dari beragam pencak silat yang ada di Bawean, Pencak Panganten merupakan aliran yang paling menonjolkan keindahan gerak tanpa mengurangi teknik bela diri.
Pencak Panganten dimainkan oleh dua orang yang telah bergelar pandikar (pendekar) pencak yang berlawanan dengan bersenjatakan sebilah pedang. Gerakan-gerakannya cenderung gemulai dan diperlambat walaupun kesemua gerakan merupakan gerakan menyerang lawan dan menghindari serangan dan membalas serangan lawan. Dalam pencak panganten ini saling serang tangkis dan balik menyerang bida berlangsung dalam 3 sampai dengan 10 lapis dalam sekali temmo tabhung. Pendekar yang dinilai tidak bisa menghindari teknik serangan dan kuncian lawannya, dinilai sebagai pihak yang kalah. Kasus seperti yang terkahir ini sangat jarang terjadi. Biasanya dan umumnya Pencak Panganten berakhir dengan keadaan draw berimbang sama jago dan hebatnya.
Pencak Panganten konon hanya dimainkan dihadapan sepasang penganten yang sedang bersanding di pelaminan. Namun saat ini, pertunjukan pencak panganten dihadapan penganten yang sedang bersanding di pelaminan sudah jarang dan nyaris tidak pernah lagi dipertunjukkan. Sebagai musik pengiring dipergunakan dua buah kendang yang dimainkan oleh dua orang dan sebuah gong sebagai element dasar. Sebagai pemanis digunakan kenong. Menurut para pendekar dan tetua Bawean, Pencak Panganten berasal dari Timur Tengah yang diciptakan olah Ali Bin Abutalib dengan ciri pembuka geraknya yang menuliskan lafat Allah dengan ujung pedangnya.
Sebagai upaya merevitalisasi pencak panganten, LEB BEKU Bhei-Bhei mencoba menghadirkan kembali Pencak Panganten dalam prosesi Panganten Adat Bawean yang telah di garap dalam sebuah seni pertunjukan. LEB BEKU Bhei-Bhei juga mengupayakan hidupnya kembali Pencak Panganten dengan mempertunjukkan sebagai pencak penghormatan bagi tamu-tamu penting dan petinggi negara yang datang berkunjung ke Bawean. Kedepan LEB BEKU Bhei-Bhei berharap seni bela diri tradisional pencak panganten dapat berperan sebagai seni pertunjukan penyambutan tamu. Persoalannya adalah, relakah para pendekar pencak Bawean apabila seni pencak panganten dimainkan peragakan oleh anak-anak muda yang makamnya belum sampai pada yahap pendekar ?

Rabu, 11 Juni 2008

Menengok Pemanfaatan Air Dari Kawasan Suaka Alam Pulau Bawean

Sumber: Baungcamp.com (24 April 2008)
Potensi Balai
KAWASAN KONSERVASI DI JAWA TIMUR
(Statistik tahun 2007 Balai Besar KSDA Jatim)
Menengok Pemanfaatan Air dari Kawasan Suaka Alam Pulau Bawean

Pulau Bawean yang berbentuk menyerupai lingkaran memiliki luas ± 190 Km2 dengan jumlah penduduk sekitar 68.086 jiwa ini terletak ± 150 Km dari sebeleh Utara Pulau Jawa. Kondisi Pulau bawean yang realtif kecil dan cukup terisolasi dengan jumlah penduduk yang cukup padat maka isu-isu pemanfaatan air dalam pulau cukup relevan untuk diangkat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan Suaka Alam P. Bawean yang saat ini menutupi sekitar 63 % areal daratan Pulau Bawean berfungsi sebagai penyangga hidup (buffer zone) meningat jasa ekologinya dapat memberikan konstribusi yang sangat berharga bagi kehidupan. Salah satunya adalah fungsi hidroorologis.. Fungsi hidroorologis yang dimaksud adalah mampu menyuplai air secara kontinyu baik untuk fungsi irigasi, pertanian amupun kehidupan lainnya yang sangat penting bagi masyarakat Pulau Bawean.
Sumber dan Penguna Air
Adanya sumber-sumber air di Pulau Bawean karena menyediakan tempat resapan air seperti hutan primer di kawasan G. Nangka, G. Besar, G. Bengkoang, G. Dedawang dan juga menyediakan danau sebagai tempat resapan air yaitu Danau Kastoba dengan vegetasi yang masih utuh mengitari sekeliling danau. Ada banyak sumber air di Pulau Bawean tapi sampai saat ini belum pernah dihitung berapa besarnya jasa hidrologi secara menyeluruh di Pulau Bawean. Namun demikian dari data pemanfaatan air yang sudah ada, rekan-rekan polhut di Bawean telah mengumpulkan data pada tahun 2003 ini tercatat ada 18 sumber air berasal dari sumber di dalam kawasan Suaka Alam Pulau Bawean yang sudah dimanfaatkan untuk kepentingan sehari-hari seperti minum, cuci, mandi dll. Ke 18 sumber air tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat dari 46 dusun dari 16 desa dalam 2 wilayah kecamatan Sangkapura dan Tambak. Sumber dan desa yang memanfaatkan air tersebut dapat dilihat pada tabel (file tambahan).Saat ini pemanfaatan air dari sumber-sumber teresebut belum dikelola secara baik, pengguna air dari masing-masing desa menggunakan saluran sendiri-sendiri menggunakan pipa paralon dengan berbagai ukuran. Bahkan satu sumber air terpasang beberapa pipa paralon sehingga berseliweran pipa-pipa yang terkesan semrawut.
Dari sekian banyak sumber air yang dimanfaatkan baru beberapa saja yang menggunakan bak penampungan yang berfungsi sebagai bak pembagi ke masing-masing desa. Selebihnya air dialirkan langsung dari sumbernya ke pipa. Disamping rawan gangguan kondisi ini juga tidak menjamin kualitas kejernihan air, kotoran/sampah atau material tumbuhan berupa daun dan ranting bisa ikut masuk kedalam saluran akhirnya menyumbat aliran air dalam paralaon, yang pada akhirnya meningkatkan biaya pemeliharaan.
Kompetisi Pemanfaatan Air
Air merupakan barang ultra essensial bagi kelangsungan hidup manusia , bahkan para ahli memprediksi bahwa air akan menjadi sumber konflik diabad ke 21 ini.. Peningkatan jumlah penduduk yang semakin meningkat dengan kondisi Pulau Bawean yang relatif cukup kecil, seiring jalannya waktu akan menimbulkan kelangkaan dan kompetisi pemanfaatan air yang akan memicu konflik horizontal maupun vertikal. Terlebih P. Bawean adalah pulau kecil yang mengandalkan keperluan air bersih dari sumber-sumber yang ada di pulau. Kekurangan iar di masa datang tidak mungkin lagi dipasok oleh Pulau Jawa yang saat inipun telah mengalami defisit Setiap tahunnya sebesar 13 milyar m3.
Akhir-akhir ini konflik pemanfaatan air di P.Bawean sudah mulai terasa lebih-lebih pada saat musim kemarau dima debit air berkurang. Beberapa kelompok petani pengguna air menganggap bahwa adanya akses masyarakat dengan pipanisasi dari dalam kawasan telah mengurangi jumlah air yang dipakai untuk kebutuhan pengairan. Disatu sisi kebutuhan air bersih untuk keperluan sehari-hari semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk di pulau. Beberapa sumber air yang memberikan manfaat lain seperti Air Terjun Kuduk-kuduk ataupun Air terjun Latcar kini keindahannya semakin meredup karena debit air terjunnya semakin berkurang.
Konflik akibat perebutan air sangat mungkin terjadi dan krisis air di Bawean mungkin akan terjadi dalam waktu tidak lama. Hal ini sudah mulai dirasakan oleh sebagaian masyarakat (di Kumalasa), aliran air untuk ke rumah-rumah dijadwal 1 atau 2 jam dalam sehari mengingat persedian air yang sangat terbatas.
Antisipasi Sebelum Terlambat
Ada baiknya semua pihak yang berkepentingan di P. Bawean memikirkan langkah-langkah antisipasi terhadap terjadinya kelangkaan air atau krisis air di masa mendatang. Beberapa alternatif yang mungkin dapat dilakukan antara lain :
1. Aspek kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya air
Sampai saat ini di Bawean belum ada lembaga khusus yang menangani/mengelola sumber daya air terutama air untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan pengairan. Penanganan kebutuhan serta kerusakan pipa dikoordinasikan oleh dusun atau desa setempat. Perlu dipikirkan adanya pengurus gabungan perkumpulan pemakai air di seluruh pulau yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat sendiri seperti halnya Mitra Cai di Jawa Barat atau Subak di Bali, dengan mempertibangkan aspek-aspek : keseimbangan, ketahanan dan kesetaraan. Difharapkan pembentukan kelembagaan supaya epektif tidak melahirkan biaya transaksi yang tinggi yang justru menghambat pengelolaan air yang optimal.
2. Penghematan air
Peningkatan efisiensi penggunaan air perlu menjadi prioritas semua fihak yang berkepentingan . Penghematan air dikala kekeringan serta penyimpanan air di kala berlebihan merupakan tindakan konservasi air. Aktivitas yang berintikan penghematan air bukan saja berarti menggunakan dalam jumlah sedikit tetapi juga menjaga ketersediaannya sepanjang tahun.
3. Penghijauan dan reboisasi di daerah hulu dan hilir
Sumber-sumber air di pulau kecil diantaranya berupa sungai atau parit, dari segi panjang dan dan kedalamannya sangat terbatas. Maka bila terjadi intensitas curah hujan yang tinggi, air hujan tentu akan segera masuk ke laut. Hal ini akan menimbulkan erosi dan tanah longsor bila kondisi vegetasinya buruk. Sejarah pengelolaan kawasan di masa lalu sebagai hutan produksi menyisakan kawasan hutan dengan vegetasi yang rawang dan perlu direhabilitasi, begitupula tanah-tanah milik masayarakat yang kondisinya terlantar perlu dimanfaatkan untuk ditanami/dihijaukan khususnya dengan tanaman yang berfungsi baik sebagai pengatur tata air dan pencegahan erosi. Kegiatan seperti ini tampaknya tidak sepenuhnya diserahkan instansi tehnis yang dengan dana dan personil yang terbatas. Di P. Bawean sendiri sudah mulai tumbuh upaya konservasi secara swakarsa dengan terbentuknya LEMBAH (lembaga Masyarakat Berwawasan Alam Hayati), dimana salah satu kegiatannya juga melakukan penghijauan.
4. Bambu jenis yang dapat memperbaiki tata air
Selain mempunyai fungsi ekonomi, bambu mempunyai fungsi ekologis sebagai pengatur tata air yang baik. Bambu memiliki batang yang kuat dan lentur hingga tahan angin, perakarannya sangat rapat dan menyebar ke segela arah baik menyamping maupun kedalam maka lahan di bawah tegakan bambu menjadi sangat stabil dan mudah meresapkan air. Bambu tahan kekeringan dan dapat tumbuh pada ketinggian 0-1500 mdpl sehingga sangat berpotensi sebagai penahan air. Di Indonesia sendiri ada kurang lebih 142 jenis bambu dari 1000 jenis yang ada didunia yang dapat dibudidayakan baik pada lahan milik masyarakat atau untuk keperluan rehabilitasi kawasan konservasi.
5. Pengembangan hutan rakyat
Masyarakat Bawean adalah masyarakat yang tidak asing lagi dengan keberadaan hutan, namun sejarah pengelolaan dimasa lalu sebagai hutan produksi yang kini beralih fungsi menjadi kawasan suaka alam tidak sepenuhnya diketahui oleh masyarakat Pulau Bawean. Beberapa lokasi hutan yang berdampingan dengan kawasan suaka alam pada umumnya merupakan hutan milik rakyat yang kondisinya ada yang baik tapi ada juga yang terlantar. Hutan seperti ini dapat berfungsi sebagai zona penyangga kawasan konservasi, dimana kebutuhan kayu dan hasil hutan ikutan lainnya dapat dipenuhi dari kawasan hutan rakyat. Sehingga diharapkan kondisi kawasan konservasi tetap terjaga fungsinya terutama fungsi hidroolrologis yang penting bagi masyarakat Bawean.
6. Disiplin Bangunan
Sekalipun luas pulau Bawean relatif kecil dan terpencil dari segi geografis namun mobilitas masyarakat Pulau Bawean cukup tinggi, mengingat cukp banyak masyarakat yang menggantungkan mata pencahariannya sebagai tenaga jasa di luar negeri (Malaysia dan Singapur). Hal ini juga membawa implikasi terhadap pesatnya pembangunan fisik rumah atau toko-toko yang menggunakan bahan tembok atau beton. Supaya air hujan yang jatuh meresap ke dalam tanah maka upaya menyisakan 40 % lahan sebagai ruang terbuka harus dipatuhi. Atau pembuatan sumur-sumur resapan di lingkungan bangunan rumah atau toko sebagai alternatif untuk peningkatan persediaan air tanah.
7. Bangunan Fisik
Pembuatan embung, cekdam, rorak, sumur resapan, terasering dll. Intinya berbagai tindakan ini untuk lmeningkatkan aliran air hujan dari hulu ke hlir disertai peningkatan penyebaran seluas-luasnya ke dalam tanah.
(Agus Irwanto /Polhut BBKSDA Jatim)

Bawean Deer (Axis Kuhlii

BAWEAN DEER (Axis kuhlii)
HABITAT DAN POPULASI RUSA BAWEAN (Axis kuhlii)
*Oleh :Djuwantoko**Danang Wahyu Purnomo***
Intisari
Rusa Bawean (Axis kuhlii) merupakan satwa endemik asli Pulau Bawean yang populasinya semakin menurun akibat perubahan habitat oleh aktivitas manusia. Kerusakan kawasan hutan akan menyebabkan hilangnya habitat alami bagi berbagai jenis satwa yang hidup dan berkembang di dalamnya. Komponen-komponen habitat berupa pakan, peneduh, ruang, air, tanah, dan faktor lingkungan menjadi faktor pembatas bagi kehidupan satwa. Sementara itu, keterpaduan antara komponen habitat menjadi penyeimbang kelanjutan pertumbuhan populasi. Pengetahuan tentang habitat menjadi dasar dalam menentukan pengelolaan suatu jenis satwa. Oleh karena itu diperlukan studi yang komprehensif mengenai habitat dan populasi Rusa Bawean.Kajian dilakukan dengan pengamatan terhadap berbagai komponen habitat secara langsung dan tidak langsung di lapangan. Tipe habitat dianalisis dengan mengidentifikasi struktur dan komposisi vegetasi menggunakan metode sampling protokol. Pengamatan terhadap sumber pakan dilakukan dengan melihat kondisi daun pakan dan metode faecal analysis. Kualitas pakan dianalisis dengan proximat analysis. Produksi dan produktivitas pakan ditentukan dengan menggunakan petak ukur permanen. Sementara itu, sumber peneduh, ruang, dan efek tepi diidentifikasi secara deskriptif berdasarkan kondisi aktual di lapangan. Sumber-sumber air dideskripsikan dan dianalisis di laboratorium untuk mengetahui kualitasnya. Analisis spatial diversity dilakukan untuk mengetahui keterkaitan antar tipe habitat. Populasi diamati mengenai daerah jelajah dan karakter populasinya secara langsung dan studi pustaka.Hasil pengamatan menunjukkan bahwa populasi Rusa Bawean masih terkonsentrasi pada tiga daerah, Pulau Tanjung Cina, Hutan Gunung Besar dan Hutan Gunung Mas. Tipe-tipe habitat yang disukai berturut-turut adalah hutan sekunder, hutan primer, hutan jati bersemak, dan hutan campuran. Sumber pakan masih melimpah dengan kandungan gizi yang cukup bagi kesejahteraan populasi. Sumber air melimpah dan cukup bagi kebutuhan hidup Rusa Bawean. Namun, keadaan populasi yang terpecah dalam kawasan yang sempit menyebabkan terbatasnya transfer genetik hingga menekan pertumbuhan populasi. Hal ini terbukti dengan karakter populasi di beberapa daerah yang menuju ke arah regressive population. * Makalah disampaikan dalam Seminar Konservasi Rusa Bawean, pada tanggal 26 Januari 2005 di Auditorium FKT UGM Yogyakarta** Staf Pengajar di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta*** Staf Laboratorium Satwa Liar Fakultas Kehutanan UGM

Senin, 09 Juni 2008

Mengangan Dokumenter Seni Tradisional Bawean

(pelayaran jhukong LEB BEKU Bhei-Bhei di tengah badai samudra)
(Oleh: Iling, Khairil Anwar SS)

Bawean sebagai daerah kepulauan yang merupakan bagian wilayah Kabupaten Gresik memiliki karakter budaya yang berbeda dengan masyarakat Gresik yang hidup di daratan. Perbedaan karakter budaya tersebut tentunya mesti dipandang sebagai aset kekayaan yang dapat dijadikan sebagai unsur pembentuk ciri khas serta karakter dari budaya Kabupaten Gresik. Sehingga Kabupaten Gresik yang selama ini telah dikenal sebagai daerah industri, juga dikenal masyarakat nasional maupun internasional sebagai daerah yang juga memiliki karakter budaya khas.
Potensi keindahan alam Pulau Bawean yang oleh Pemerintah Propinsi Jawa Timur dan Pemerintah Daerah Kabupaten Gresik telah dilirik untuk dioptimalkan sebagai modal bagi pengembangan sektor pariwisata dalam upaya peningkatan pendapatan asli daerah. Pemanfaatan potensi alam sebagai obyek wisata tentunya akan kurang maksimal apabila kurang didukung potensi dibidang seni budaya yang ada di masyarakat. Kolaborasi antara potensi keindahan alam dengan didukung potensi dibidang budaya seni tradisi Bawean, menjadi lebih ideal guna diwujudkannya Bawean sebagai Bali-nya Jawa Timur. Keberhasilan pengembangan Pulau Bawean sebagai daerah tujuan wisata tentunya juga tidak akan terlepas dari langkah-langkah promosi terhadap obyek yang akan kita jual disamping kesiapan sarana maupun prasarana bagi wisatawan.
Guna terwujudnya cita-cita ideal tersebut, tentunya peran aktif sinergis pemerintah daerah dengan masyarakat Bawean merupakan salah satu faktor kunci yang menjadi penentu, melalui penggalian terhadap nilai seni tradisi Bawean dan aktif memperkenalkan atawa mempromosikan kepada publik nasional maupun internasional potensi alam dan seni budaya Bawean. Dalam kerangka pikir tersebut tentunya adalah ideal untuk mempertunjukkan seni tradisi Bawean dalam promosi wisata baik skala lingkup regional, nasional maupun internasional. Langkah tersebut selain merupakan bentuk promosi yang ideal, juga merupakan bentuk motifasi kepada seniman dan pelaku seni tradisi Bawean untuk terus menggali optimalkan potensi seni tradisi yang ada di Pulau Bawean.
Budaya Bawean yang secara historis merupakan hasil sintesa akulturasi dari berbagai budaya yang datang ke Bawean maupun yang dijemput masyarakat Bawean ke daerah asalnya, telah mewujudkan satu bentuk karakter budaya baru yang unik dan kini dikenal dengan budaya masyarakat Bawean. Salah satu wujud budaya Bawean yang menunjukkan keunikan adalah ragam seni musik tradisi yang tumbuh berkembang di Bawean seiring proses perkembangan budaya Bawean itu sendiri. Ragam seni musik tradisi yang ada di Bawean diantaranya dikenal dengan nama Jibul, Mandiling, Kercengan, Korcak, Dikker, dll. Setiap species musik tradisi tersebut memiliki karakter yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Beragam seni tradisi Bawean tersebut saat ini kondisinya sudah mulai termarginalkan oleh beragam wujud seni modern populer. Seni tradisi Bawean tersebut selain hanya tersisa di pelosok kampung dengan pelaku seni yang telah berangtkat renta, juga sudah jarang ditampilkan dalam acara-acara kesenian. Persoalan lain yang juga menjadi kendala dalam mengupayakan seni tradisi sebagai salah satu ikon pariwisata, adalah karakter keluguan dari seni tradisi itu sendiri maupun pelakunya. Sehingga seringkali seni tradisi mentahan tersebut terasa monoton dengan durasi panjang yang menjemukan dalam sebuah pementasan.
Guna mencapai tujuan menjadikan seni tradisi Bawean sebagai salah satu ikon pariwisata, kiranya perlu dilakukan upaya-upaya sistematis dan terprogram yang bertujuan selain melestarikan seni tradisi dalam wujud aslinya dalam skala yang lebih masif di tengah masyarakat pendukung tradisi, juga perlu dilakukan upaya penggarapan kemasan yang tanpa kehilangan karakter tradisi aslinya.
Budaya Bawean adalah salah satu kekayaan Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur dan Republik Indonesia yang potensial untuk dikembangkan disamping keindahan alamnya sebagai obyek wisata.
Dengan mendasarkan pada sejumlah pemikiran diatas, maka digagaslah upaya inventarisir dokumenter seni musik tradisional Baweanan oleh Lembaga Eskavasi Budaya BEKU Bhei-Bhei sejak tahun 1999. Tangan-tangan mungil LEB BEKU Bhei-Bhei hingga saat ini telah mulai menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Malah jika dibandingkan dengan proses kami yang semuanya serba berdikari swadaya pribadi-pribadi, hasil yang diperoleh dapat dikatakan mencengangkan. Sebagai contoh dari bagian perjalanan panjang proses LEB BEKU Bhei-Bhei adalah keberhasilan kami mementaskan kesenian Bawean di luar Bawean. Selain mementaskan di kota kabupaten yang masih harus menyebrang lautan, LEB BEKU Bhei-Bhei telah pula mementaskan beragam kesenian Bawean dalam Etalase Kesenian Etnik Jawa Timur tahun 2007 di Taman Budaya Surabaya. Bahkan LEB BEKU Bhei-Bhei pada Maret 2008 mewakili Propinsi Jawa Timur dalam Festival Maulid Nusantara 3 di Islamic Centre Jakarta dengan prestasi sebagai peserta favorit dan 5 penampil terbaik non-ranking. Sebuah prestasi yang tidak sempat termimpikan apabila kita tengok proses kami yang berawal dari meminjam alat musik untuk berlatih, memasak mie kompak sebagai pengganjal perut dan berbagi sebatang rokok pengusir asam di mulut.
Tentunya keberhasilan proses ini tidak serta merta mengundang simpati semua orang. Toh Allah SWT pemilik alam yang hakiki telah menciptakan siang dan malam, terang dan kelam, baik dan buruk. Diantara apresiasi yang baik membubung tinggi, ada saja yang mencibir bahkan mencelakai kami. Inilah hidup yang LEB BEKU Bhei-Bhei jalani dalam mewujudkan apa yang diidealkan. LEB BEKU Bhei-Bhei ibarat menempuh pelayaran di tengah badai samudra dengan sebuah jhukong.

Minggu, 08 Juni 2008

Kubur Kuna di Tambak

Kubur kuna yang dimaksud di sini terletak ditepi jalan lingkar Bawean yang berhimpit dengan garis pantai. Secara administratif lokasi kubur ini termasuk dalam wilayah administratif Desa Pekalongan Kecamatan Tambak. Kubur kuna ini berada di tengah pekuburan umum Dusun Tunjung Desa Pekalongan.
Saat ini kubur kuna ini telah diberi bangunan cungkup kontruksi beton dengan atap asbes tanpa dinding yang merupakan bangunan baru. Jirat kuburnyapun telah ditinggikan dengan batako semen. Pada bagian atas jirat batako ini, ditempatkan jirat berbahan kayu jati yang juga merupakan binaan baru. Jirat ini memiliki ukuran panjang 270 cm, lebar 120 cm dengan tinggi 83 cm. Nisan kuburnya masih mengesankan kekunaan dengan bahan fosil terumbu karang. Nisan kubur ini menggunakan langgam gaya gada dengan bentuk dasar bulat panjang yang diberi hiasan antefik sebagai pembatas antara bidang kaki ke bidang badan, dan pembatas antara bidang badan ke bidang kepala nisan. Nisan ini memiliki ukuran diameter 24 cm, tinggi 43 cm, dengan jarak antar nisan 182 cm.
Keberadaan kubur kuna ini di Bawean baru ramai di bicarakan orang sejak tahun 1995-an. Menurut keterangan masyarakat sekitar, pada awalnya masyarakat sekitar dan Bawean pada umumnya kurang memperhatikan keberadaan kubur tersebut. Namun seiring dengan semakin banyaknya peziarah yang datang dari Jawa ke kubur tersebut, maka mulai berkembanglah cerita tentang keberadaan kubur tokoh tersebut. Berdasarkan keterangan peziarah dari Jawa yang kami temui di lokasi kubur ini, menyatakan bahwa kubur tersebut merupakan kubur tokoh Sunan Bonang, salah seorang dari wali songo yang ada di tanah Jawa. Menurut peziarah tersebut Sunan Bonang meninggal dan dikuburkan dilokasi ini dalam upaya beliau menyiarkan Agama Islam. Namun setelah diketahui oleh para santri dan pengikutnya yang berada di Tuban, mereka bermaksud untuk memindahkan kubur Sunan Bonang dari lokasi di Bawean ke Kota Tuban. Dalam upaya tersebut santri dan pengikut dari Tuban, tidak sepenuh niatan mereka berhasil dilaksanakan, karena yang berhasil dipindahkan hanyalah kain kafannya saja. Sedangkan jasadnya tidak bisa dipindahkan dari Bawean. Namun sebagian peziarah dari Jawa yang datang ke Bawean menyebutkan bahwa kubur Sunan Bonang memang di Bawean. Namun kubur tersebut bukan yang berada di Kecamatan Tambak ini. Melainkan berada di Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura yang di Bawean dikenal dengan Jujuk Tampo. Yang mana yang benar ? Saya sendiri sebagai arkeolog tidak dapat memberikan jawaban pasti. Karena kedua pendapat tersebut tidak ditunjang oleh data arkeologis maupun historis.
Peninggalan arkeologi yang menarik disekitar kubur di Bawean ini adalah terdapatnya 4 buah nisan bergaya bentuk gada dan 2 buah berbentuk pipih yang menggunakan bahan batu andesit. Walaupun kubur-kubur tersebut hanya dikenal sebagai kubur para santri tokoh utama di kompleks ini, gaya bentuk nisannya merupakan peninggalan arkeologi yang cukup langkah di Kabupaten Gresik.

Kubur K.H. Fahruddin

Kubur tokoh ini berada di pekuburan umum Dusun Pakalongan Temor Desa Pakalongan Kecamatan Tambak. Kubur ini tidak memiliki bangunan cungkup.
Tidak seperti umumnya kubur Islam, pada kubur tokoh ini tidak ditemukan unsur nisan yang biasanya didirikan didalam struktur jirat yang mengelilinginya. Pada kubur ini hanya ditemukan struktur jirat yang menggunakan bahan fosil terumbu karang. Pada bagian kepala dan kaki kubur, bentukan jiratnya meninggi dengan pola bangun setengah lingkaran menyerupai gunungan. Pada sisi luar gunungan bagian kepala kubur, diberi hiasan kaligrafi yang menyebutkan nama tokoh yang dikubur “Fahrudin” dan waktu meninggalnya beserta kalimat tauhid. Jirat ini memiliki ukuran panjang 224 cm, lebar 114 cm, dengan tinggi 90 cm.

Kubur K.H. Khatib

Kubur tokoh ini berada di tengah pekuburan umum Desa Pakalongan Kecamatan Tambak. Kubur ini tidak memiliki bangunan cungkup dan terkesan tidak berbeda dengan kubur-kubur umumnya yang ada ditempat tersebut. Jirat dan nisan kuburnya telah direhab oleh pihak keluarga yang kini dilapisi dengan keramik modern.
Berdasarkan cerita tutur yang ada di masyarakat Bawean, tokoh ini merupakan orang pertama yang membawa dan mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama’ di Pulau Bawean. Beberapa kalangan dari Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur menyatakan bahwa K.H. Khatib merupakan salah seorang kyai yang masa hidupnya sejaman dengan K.H. Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang yang bersama beliau aktif sebagai salah seorang perintis pendiri Nahdlatul Ulama'.

Kubur Waliyah Zainab

Kubur Waliyah Zainab terletak di Desa Diponggo Kecamatan Tambak Pulau Bawean, di kaki bukit yang jaraknya dari pantai sekitar 350 M. Kubur ini berada di halaman belakang masjid Desa Diponggo yang konon katanya masjid ini didirikan oleh Waliyah Zainab.
Cungkup kubur ini telah direhab oleh masyarakat setempat yang saat ini berdinding tembok dengan kontruksi beton cor beratap genteng. Jirat kubur sebagai unsur yang masih merupakan peninggalan arkeologi, menggunakan bahan batu kapur Gresik yang dibentuk persegi empat. Jirat kubur ini bentuknya mengesankan adanya kesamaan dengan beberapa jirat kubur yang ada di Gresik walaupun dalam bentuk dan ornamentnya yang jauh lebih sederhana. Jirat kubur ini juga diberi hiasan antefik sebagai penghias sudut bangunan. Ukuran jirat kubur Waliyah Zainab ini memiliki ukuran panjang 253 cm, lebar 66 cm dengan tinggi 76 cm. Nisan kuburnya telah diganti dengan nisan baru berbahan kayu jati.
Tokoh Waliyah Zainab menurut cerita tutur yang berkembang di Bawean adalah merupakan istri kedua dari Sunan Giri yang bernama Dewi Wardah. Dewi Wardah ini merupakan putri Sunan Bungkul Surabaya yang diperistri berkat penemuan buah delima oleh Sunan Giri dalam sebuah sayembara. Namun Dewi Wardah merasa kurang bahagia menjadi istri kedua dari Sunan Giri, sehingga beliau memilih untuk menetap di Bawean sebagai pendakwah penyiar Agama Islam.

Kamis, 05 Juni 2008

Kubur Jujuk Tampo

Kubur ini terletak di Dusun Tampo Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean Kabupaten Gresik. Kubur tokoh yang bernama Jujuk Tampo ini berada diatas sebuah struktur batu alam yang ditata sedemikian rupa berbentuk meninggi dengan 3 buah teras undakan. Pada setiap teras undakan memiliki bidang datar yang cukup luas, pada teras ketiga teratas ditemukan dua buah kubur dengan dua pasang nisan yang salah satunya dikenal dengan kubur Jujuk Tampo. Hasil survei Balai Arkeologi Yogyakarta Tahun 1986 menyebutkan bahwa kubur ini merupakan bentuk kesinambungan tradisi megalitik yakni punden berundak, yang pada masa awal masuknya Agama Islam di Pulau Bawean berakulturasi dengan tradisi penguburan Islam.
Hingga saat ini tidak ditemukan data yang bisa menerangkan tentang identitas sang tokoh yang dikubur ditempat tersebut secara valid. Foklor setempat hanya menceritakan tentang kejadian proses meninggalnya sang tokoh Jujuk Tampo. Menurut foklor tersebut meninggalnya tokoh Jujuk Tampo adalah akibat dibunuh oleh orang dari Desa Patarselamat yang menuduh Jujuk Tampo sebagai pencuri sapi milik warga Patarselamat yang hilang. Karena tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya, seluruh warga Patarselamat disumpah agar tidak berziarah ke kubur beliau. Apabila ada warga Patarselamat yang melanggar sumpah tersebut, maka di Bawean akan terjadi hujan deras dalam beberapa hari.
Akhir-akhir ini banyak peziarah dari Pulau Jawa yang meyakini bahwa kubur yang dikenal dengan Jujuk Tampo adalah kubur tokoh Sunan Bonang yang merupakan salah satu dari Wali Songo. Konon menurut mereka Sunan Bonang meninggal di Bawean dan dikubur di tempat tersebut. Walaupun sejumlah santri Sunan Bonang dari Tuban konon telah datang untuk memindahkan jasad beliau dari Tampo Bawean ke Tuban, para santri tersebut tidak berhasil mewujudkan keinginannya akibat tidak adanya perahu dan kapal yang mampu mengangkutnya. Setiap kapal yang di coba selalu karam kelebihan muatan. Para santri asal Tuban tersebut akhirnya mengembalikan jasad Sunan Bonang ke kubur di Tampo. Agar mereka tidak kembali dengan tangan hampa, mereka mengambil selapis kain kafan Sunan Bonang guna di bawa dan dikubur di Tuban ?.
Tidak adanya data arkeologi dan history yang bisa menerangkan tokoh yang dikubur dengan julukan Jujuk Tampo tersebut telah pula melahirkan cerita baru yang menghubungkan Jujuk Tampo dengan Laksamana Ceng Hoo ? Saya sendiri tidak menemukan data tentang hubungan diantara keduanya setelah saya baca buku yang baru terbit di tahun 2008 ini. Bukankah intuisi tidak termasuk dalam metodologi ilmu.

Rabu, 04 Juni 2008

Kubur Mbhe Ghuste

Kubur Mbeh Ghuste berada di punggung bukit yang termasuk dalam wilayah Desa Komalasa Kecamatan Sangkapura. Kubur tersebut merupakan kubur tunggal yang disekelilingnya berupa semak belukar. Untuk menuju lokasi kubur tokoh ini dari jalan Desa Komalasa yang telah bisa dilalui kendaraan bermotor, kita masih harus berjalan kaki melalui jalan setapak yang terjal berbatu ditengah semak belukar yang tinggi.
Kubur Mbeh Ghuste tidak memiliki bangunan cungkup. Sebagai penanda keberadaan kubur ini, areal kuburnya diberi tatanan batu kali yang tidak mengalami pembentukan yang di tata meninggi tanpa perekat dengan membentuk denah persegi empat panjang. Tatanan batu kali tersebut sekaligus berfungsi sebagai pagar batu dengan pintu masuk berada di sisi timur. Pagar batu ini memiliki ukuran panjang 592 cm, lebar 430 cm, tinggi 60 cm dengan ketebalan 140 cm. Halaman sisi dalam pagar batu ini, lantainya dilapisi dengan tatanan batu kali alami tanpa perekat. Pada bagian tengah terdapat kubur tokoh Mbeh Ghuste yang memiliki jirat semu sebagai akibat dari tidak diberinya struktur lantai batu diantara kedua nisan kuburnya. Nisan kuburnya juga berupa batu kali andesit yang tidak mengalami pembentukan. Kubur ini memiliki sepasang batu nisan yang ditanam berdiri langsung di atas tanah. Batu nisan tersebut memiliki ukuran lebar 27 cm, tebal 19 cm, tinggi dari permukaan tanah 19 cm dengan jarak antar batu nisan sejauh 153 cm.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Desa Komalasa, Mbeh Ghuste dikenal sebagai salah seorang pendakwah Agama Islam yang awal di Desa Komalasa Pulau Bawean. Selain itu tokoh ini dikenal sebagai seorang tabib yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengobati penyakit. Konon lebih dari 41 macam penyakit yang mampu diobati oleh tokoh ini. Namun keterangan lebih jauh tentang asal dan masa hidup tokoh tersebut tidak ditemukan dalam cerita tutur maupun data sejarah. Namun keunikan kubur ini sebagai kubur tunggal yang jirat dan nisannya mengingatkan pada menhir dan bangunan dari tradisi megalitik, cukup menguatkan bahwa kubur ini merupakan kubur kuna yang menarik untuk dikaji lebih jauh lagi.

Kubur Mbhe Rato

Kubur ini berada di pekuburan umum Desa Dheun yang terlentak di tepi jalan lingkar Pulau Bawean. Keletakan tersebut menjadikan kubur ini amat mudah untuk di kunjungi. Secara administratif kubur ini termasuk dalam wilayah Dusun Dheuneler, Desa Dheun Kecamatan Sangkapura.
Kubur ini memiliki bangunan cungkup yang bertiang kayu dengan atap seng. Jirat kuburnya menggunakan bahan fosil terumbu karang yang dibentuk lempengan persegi empat panjang. Bagian tengah struktur jirat diisi dengan batu kali. Jirat kubur ini memiliki ukuran panjang 197 cm, lebar 73 cm, tinggi 19 cm dengan dua buah pelipit mengelilingi badan jirat. Nisan kuburnya juga menggunakan bahan fosil koral yang secara umum berbentuk persegi. Sisi samping badan nisan dibentuk menyerupai pola hias simbar. Nisan ini memiliki ukuran lebar 26 cm, tebal 11 cm, tinggi 18 cm dengan jarak antar nisan sejauh 144 cm.
Berdasarkan cerota tutur yang berkembang di masyarakat Dheun, disebutkan bahwa tokoh Mbhe Rato semasa hidupnya merupakan pemimpin atau penguasa lokal yang sekarang semacam kepala desa di wilayah Dheun.

Tradisi Maulid Nabi Muhammad di Bawean

Molod Bawean
Oleh: Iling Khairil Anwar, SS.
(Lembaga Eskavasi Budaya “BEKU Bhei-Bhei”)
(Tradisi Molod Bawean oleh LEB BEKU Bhei-Bhei telah dikemas menjadi seni pertunjukan dalam Festival Maulid Nusantara 3 Th 2008 di Jakarta Islamic Centre)

Molod merupakan kosa kata Bawean yang dalam Bahasa Indonesia berarti Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan Molod bagi masyarakat Bawean merupakan peringatan atas kelahiran Nabi Muhammad S.A.W. yang di Bawean diperingati dalam kemeriahan yang unik dan khas. Keunikan dan kekhasan Molod Bawean terutama pada sebentuk sajian makanan dan sejumlah barang yang di tata sedemikian rupa dalam sebentuk wadah dengan dihias beraneka rupa dengan rupa-rupa warna.
Molod Bawean dengan segala bunga rampainya yang beraneka warna, merupakan realisasi dari kecintaan masyarakat Bawean yang 99.9% sebagai pemeluk Agama Islam kepada Rasul pembawa kebenaran Nabi Muhammad SAW. Perayaan Molod bagi masyarakat Bawean hakikatnya merupakan sarana untuk memupuk keikhlasan dari pelaksanaan syariat Islam secara kaffah, melalui tukar menukar bherkat yang dihias siang dan malam dengan keindahan warna-warni bunga tongghul dan aneka rasa rupa-rupa masakan dari ragam hasil alam. Dalam memperingati rasa syukur kelahiran nabi sang pembawa kebenaran, masyarakat bawean mengejewantahkan keriang gembiraannya melalui ungkapan sedekah atas limpahan rejeki yang Allah berikan padanya.
Pada bentuk tradisi aslinya perayaan Molod dipusatkan di masjid atau surau. Perayaan molod Bawean selalunya diawali oleh perayaan yang diadakan di masjid Jamik Sangkapura bertepatan dengan Tgl 12 Rabiul Awal. Perayaan itu dilanjutkan dengan perayaan disetiap dusun dan surau secara bergantian dan bersamaan hingga 2 minggu setelah perayaan di masjid jamik. Hal tersebut menunjukkan adanya hirarki di masyarakat Bawean masa lalu yang menempatkan Masjid Jamik Sangkapura sebagai masjid sentral diantara masjid lainnya, dimana Masjid Jamik Sangkapura merupakan pusat dakwah Maulana Umar Mas’ud sebagai penyiar Agama Islam di Bawean.
Rangkaian acara Molod Bawean yang dimulai dari rembukan di rumah tetuah tentang perayaan molod yang akan dilaksanakan di kampung atau masjid, selalu diramaikan oleh tuntutan kaum wanita yang menginginkan perayaan molod dilaksanakan dengan semeriah mungkin dengan angkatan bherkat sebesar mungkin. Setelah hari perayaan ditentukan, mulailah kaum remaja muda-mudi gotong royong mengambil peranan membersihkan, merapikan, menghias arena perayaan yang berupa surau atau masjid dengan rangkaian bunga untaian manyang yang wanginya tajam. Ibu-ibu dirumah masing-masing tenggelam dalam persiapan menghias dan menyiapkan rupa-rupa makanan bherkat angkatan. Alunan musik dikker dipagi hari mengiringi puncak kesibukan dan kemeriahan seluruh warga yang larut dalam peran masing-masing. Bherkat angkatan yang telah ditata ibu dan gadis perawan segera diambil alih oleh sang jejaka untuk dibawa menuju surau atau masjid diiring oleh kaum bapak yang telah memakai baju terbaik terbarunya dengan semerbak wewangian ditingkahi celoteh riang anak-anak yang siap mengikuti beragam permainan perlombaan. Di surau bherkat angkatan ditata berkelompok ditempat yang mudah terlihat ditonton orang. Setiap orang melihat menyaksikan menimbang dan saling mengomentari hiasan dan isi bherkat angkatan masing-masing dan milik orang-orang. Pemilik bherkat angkatan yang terbesar, termahal dan terindah akan diingat dikenang oleh seluruh warga sebagai si kaya yang dermawan. Shalawat nabi pembacaan kitab Barzanji terus berkumandang ditingkahi rebana dikker yang besar menggelegar. Do’a-do’a telah dimohonkan agar cahaya hidup kebenaran terus bersinar dialam Bawean. Anak-anak muda belia larut dalam keriuhan nabur pesse sebagai bentuk sedekah si kaya diiring kesyahdu merduan asrakalan. Tibalah ending prosesi berupa tukar menukar bherkat angkatan dalam keriang gembiraan.
Bentuk kekhasan lain dari perayaan Molod Bawean adalah ditampilkannya kesenian tradisional dikker yang pada tradisi aslinya hanya dapat kita jumpai pada perayaan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. Pada perayaan tersebut yang di Bawean berlangsung dengan meriah sepanjang hari, musik tradisional Dikker dimainkan sejak pagi hingga menjelang sore hari. Kesenian Dikker konon berasal dari kosa kata Arab, yaitu ‘dzikir’ yang berarti menyebut dan mengagungkan nama Allah dan Nabi Muhammad. Dalam wujudnya yang tradisional, kesenian Dikker merupakan bentuk kesenian yang melagukan syair-syair Barzanji dengan irama lagu yang khas dan diiringi dengan alat musik rebana berukuran besar. Ke khasan irama syairnya yang mendayu dalam tempo yang lamban, ditingkahi dengan tetabuhan rebana-rebana besar yang bersuara bas, lebih menghadirkan suasana sakral perayaan molod itu sendiri.
Dalam Festival Maulid Nusantara 3 (2008) di Islamic Center Jakarta, Molod Bawean sebagai duta Propinsi Jawa Timur dikemas sajikan oleh Lembaga Eskavasi Budaya “BEKU Bhei-Bhei” nilai-nilai dan tradisi Islami yang ada di masyarakat Bawean digarap dengan tetap menjaga prinsip originalitas tradisi dalam konsep sebuah pertunjukan budaya. Dengan konsep tersebut diharapkan upaya pelestarian tradisi budaya Bawean bisa tercapai serta bisa menjadi daya tarik wisata budaya yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan budaya Bawean beserta pendukung budayanya.

Selasa, 03 Juni 2008

Jujuk Neisela

Kubur ini berada di lokasi yang hingga kini masih sangat sulit untuk didatangi. Keletakan kubur ini yang berada di punggung gunung dengan akses jalan yang hanya berupa jalan setapak pencari rumput yang sangat jarang di lalui, menyebabkan kesulitan untuk menenukan lokasi kubur ditengah rimbun semak-semak. Secara administratif kubur ini termasuk dalam wilayah Dusun Bhelibhekeler, Desa Balikterus Kecamatan Sangkapura, yang keletakan desanya berada dibagian tengah Pulau Bawean yang berbukit-bukit.
Kubur ini tanpa dilengkapi dengan bangunan cungkup. Jirat kuburnya hanya berupa batu-batu sediman muda berukuran kecil yang ditata mengelilingi kubur tanpa dibentuk dan perekat. Jirat tersebut memiliki ukuran panjang 210 cm, lebar 98 cm dengan tinggi 10 cm. Nisan kuburnyapun nampaknya telah pernah patah, dan kini yang terpasang sebagai nisannya hanyalah patahan sisi atasnya saja. Pola hias yang masih nampak pada nisan tersebut berupa garis geometris vertikal. Nisan tersebut juga menggunakan batu sedimen muda sebagai bahan bakunya dengan ukuran lebar 15 cm, tebal 7 cm, tinggi 13 cm dengan jarak antar nisan 170 cm.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Bawean, khususnya di Desa Balikterus, menyebutkan bahwa tokoh Jujuk Neisela merupakan salah seorang khadam atau pembatu Waliyah Zainab atawa Dewi Wardah yang meninggal dalam perjalanan pelarian sebelum akhirnya Waliyah Zainab menetap di Desa Diponggo.

Senin, 02 Juni 2008

Penganten Adat Bawean

Pengantin adat Bawean,
digelar sepanjang tujuh siang tujuh malam… !
(Oleh: Iling Khairil Anwar, SS.)
("Prosesi Penganten Adat Bawean ini oleh LEB Beku Bhei-Bhei telah dikemas dalam sebuah seni pertunjukan")
Pernikahan sebagai salah satu dari fase proses kehidupan manusia, oleh manusia Bawean dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Pernikahan dimaknai sebagai utuhnya tanggung jawab seorang anak dan terlepasnya ketergantungan tanggung jawab orang tuanya. Dengan demikian usailah tugas sang orang tua dalam mengasuh, mendidik dan melindungi sang anak. Pada sisi komunitas luas, pernikahan bermakna sebagai lahirnya keluarga baru dilingkungan sosial mereka. Karena itu selain perlu diumumkannya sebuah pernikahan pada masyarakat sebagaimana tuntunan Agama dan tata laku sosial masyarakat Bawean, pernikahan dimeriahkan oleh anggota komunitas masyarakat Bawean sebagai ungkapan kegembiraan atas lahirnya keluarga baru dilingkungan mereka.
Kegembiraan pernikahan tersebut olah masyarakat Bawean dirayakan dan dimeriahkan sedemikian rupa mengikuti kemampuan finansial keluarga yang punya hajat maupun status sosialnya. Sikaya yang dipandang sebagai orang yang berstatus sosial tinggi, tidak akan segan mengeluarkan uang yang begitu banyak demi pengakuan atas statusnya. Bahkan tidak jarang adapula yang menyelenggarakan acara pernikahan melebihi batas kemampuannya hingga melahirkan hutang demi mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai orang yang berkemampuan dan berstatus sosial yang tinggi. Perayaan itu di Bawean pada umumnya digelar hingga tiga hari tiga malam. Namun pada keluarga kaya, acara pernikahan tersebut bisa saja digelar hingga tujuh siang tujuh malam.
Perjodohan atau pernikahan pada masyarakat Bawean masa dahulu, lebih banyak berdasarkan pilihan orang tua. Orang tua yang memiliki anak laki-laki yang telah dianggap telah cukup umur dan bekal untuk dinikahkan, akan mulai memilih-milih anak gadis untuk di jodohkan dengan anak laki-lakinya. Dalam pemilihan jodoh ini selain kondisi fisik anak gadis yang dimaksud, juga dipertimbangkan mengenai asal-usul, keturunan, dan keadaan ekonomi keluarga bakal calon besannya. Didalam memilih tersebut, selalu dipilihkan bakal calon yang dianggap sepadan. Pencocokan hitungan penjodohan dilakukan dengan sistem penghitungan tersendiri berdasarkan jumlah huruf nama kedua anak tersebut, maupun berdasarkan tanggal lahirnya. Sebelum lamaran ini dilaksanakan, diutus tetua adat kerumah mempelai putri untuk menjajaki kemungkinan dilangsungkannya lamaran, dalam arti apakah keluarga itu belum terikat janji dengan keluarga lain berkenaan dengan anak perempuan yang akan di jodohkan.
Ngalamar (lamaran) tahapan ini merupakan tahapan awal dari seluruh rangkaian prosesi pernikahan. Pada tahap ini orang tua pijak jejaka yang terdiri dari kedua orang tua, keluarga yang dituakan, dan lurah datang kerumah keluarga gadis yang menajdi pilihannya dengan maksud melamar. Lamaran pihak jejaka ini dilain waktu akan dibalas oleh pihak orang tua sang gadis mendatangi rumah keluarga jejaka. Dalam kunjungan balasan ini jika lamaran pihak jejaka diterima, sekaligus ditentukan tanggal pernikahan dan perhelatan yang akan di gelar.
Shokhibul hajat berkunjung kerumah Pak Lorah (lurah) untuk memberi tahu / lapor bahwa mereka akan menyelenggarakan hajatan pernikahan. Melapor kepada lurah dilakukan sekitar 1 atau 2 bulan sebelum dilangsungkan pernikahan. Perlunya melapor kepada lurah karena dalam pelaksanaan perhelatan pernikahan nantinya melibatkan seluruh warga desa di dalam persiapan dan prosesi pernikahannya.
Pemilihan To’a-to’a (tokoh wanita penuh kharisma). To’a-To’a berfungsi sebagai orang ketiga dan penyambung komunikasi kedua mempelai, baik pada pertemuan pertama maupun pada pertemuan malam pertama, karena jodoh yang diterima berdasarkan p ilihan orang tua.
Pengantin putri aokep (pingitan) selama 40 hari, to’a-to’a mulai memerankan tugasnya dalam hal mengajarkan kepada pengantin putri tentang kewajiban, tugas, dan hak sebagai istri didalam sebuah keluarga. Selain itu to’a-to’a juga mengajarkan tentang tata cara melayani suami sesuai dengan tuntunan agama dan tata laku di masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya adalah perawatan badan bagi pengantin putri agar tampil cantik, wangi dan segar dalam acara pernikahan nanti yang berupa A bherse-bherse, yakni Pengantin putri dibedaki (luluran) dengan berbagai ramuan wangi agar pengantin putri nampak cantik, bersih dan wangi. Mamacare yang berupa Mewarnai ujung jari tangan dan kaki serta kuku pengantin wanita dengan daun pacar yang telah ditumbuk halus. Didalam masa 40 hari ini pengantin putri tidak diperkenankan keluar rumah atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar.
HARI PERTAMA
Pagi hingga siang bersamaan dengan mamasang, muda mudi secara bergantian memainkan musik dhungka yang merupakan pertanda sekaligus menghabarkan bahwa ditempat itu akan ada perhelatan pernikahan. Para muda-mudi dan orang-orang tua sibuk dalam kebersamaan gotong royong dalam mendirikan tarop, membersihkan lingkungan sekitar rumah pengantin, menghias dan membuat pelaminan. Ibu-ibu mempersiapkan makanan dan kue-kue untuk perhelatan ini. Seluruh aktifitas persiapan ini dalam Bahasa Bawean disebut mamasang. Keganyangan gotong royong tersebut berlangsung dirumah kedua pengantin.
HARI KEDUA
Mamarase yang berupa memotong bagian depan rambut yang merupakan rambut-rambut kecil dikening pengantin putri. Pemotongan rambut ini dilakukan oleh to’a-to’a dan juru rias. Pagi hari atau Malam harinya dilaksanakan Salamet Kabin dan Akad nikah. Selamatan pernikahan ini dilangsungkan dirumah pengantin pria dan wanita pada waktu yang berbeda di siang hari. Di kedua tempat tersebut mengundang sanak famili, teman, kenalan dan warga kampung lainnya. Pada acara selamatan di tempat pengantin wanita sekaligus dilangsungkan akad nikah dengan di saksikan seluruh hadirin.
Sementara selepas isya’ pengantin wanita duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin lengkap yang dalam bahasa bawean disebut “Panganten A’ Totongghu”. Dihadapan pengantin wanita duduk keluarga pengantin wanita dan masyarakat yang ingin menonton pengantin wanita. Panganten A’ totongghu ini memiliki makna sebagai ajang mempertontonkan kepada khalayak bahwa mempelai wanita telah siap untuk menikah. Selain itu pengantin wanita bermaksud menunggu untuk menyaksikan hantaran berbagai perlengkapan rumah tangga dari pihak pengantin pria yang dalam Bahasa Bawean dikenal dengan “Tolong Berang”. Ketika barang hantaran yang terdiri dari berbagai barang keperluan rumah tangga datang yang dibawa oleh keluarga pengantin pria, semua barang tersebut diletakkan di hadapan pengantin wanita dan keluarganya. Barang hantaran tersebut apabila mempelai prianya merupakan anak laki-laki termuda dan terakhir dinikahkan di keluarga tersebut, maka barang bawaannya berupa hasil bumi lengkap, pakaian, meubel, peralatan dapur dan lain-lain. Pada kasus semacam itu, dimasyarakat Bawean di kenal dengan “Nga Bhungkar Sendhi”.
HARI KETIGA
(REPOTNA)

Pagi hari dilaksanakan penyembelihan sapi 1 – 3 ekor atau lebih untuk dihidangkan kepada undangan yang datang dalam perhelatan. Penyembelihan sapi ini di lakukan secara gotong royong oleh pemuda dan bapak-bapak warga desa serta keluarga luas pengantin. Jumlah hewan sapi yang disembelih menjadi salah satu nilai pristise dan status sosial si punya hajat.
Malam hari A’adheng-adheng, yaitu memasak nasi dan lauk untuk acara perhelatan yang dilakukan secara gotong royong oleh ibu-ibu baik keluarga maupun warga desa. Sebagai hiburan pada malam itu disajikan kesenian Jibul.
HARI KEEMPAT
Panganten Matammat-tammat / Nammattaken, yang mana penganten putri membaca Al Qur’an hingga Khatam di pelaminan rumah pengantin wanita dengan di saksikan keluarga pengantin pria, wanita dan masyarakat pada siang hingga sore hari. Acara khataman ini dimaksudkan sebagai uji kemampuan mambaca Al-qur’an bagi pengantin wanita. Kemampuan dalam membaca Al-Qur’an bagi wanita Bawean menjadi prasyarat tersendiri dan sekaligus sebagai perlambang atas muatan pengetahuan agama si pengantin wanita. Setiap selesai pembacaan satu surat Al Qur’an, keluarga mempelai laki-laki dan wanita memberi uang tombhuk ke wadah yang disediakan di hadapan mempelai wanita sebagai ungkapan tingginya kemuliaan wanita yang memiliki pengetahuan agama sebagai bekal calon ibu di dalam keluarga.
Pada malam hari dilangsungkan panganten mole. Mempelai pria dengan pakaian pengantin lengkap diarak dari rumahnya dengan menunggang kuda menuju rumah penganten wanita dengan diantar oleh seluruh keluarga dan warga kampung. Iring-iringan ini dimeriahkan dengan musik kercengan. Ibu-ibu dan perawan membawa kue-kue, sedangkan para perjaka membawa pakaian penganten pria. Pada bagian ujung depan iring-iringan dibawah sebatang tebu utuh dengan daunnya, yang pada bagian atas batangnya di gantung dua buah pinang tua yang telah kuning dan seikat daun sirih sebagai perlambang bahwa mempelai pria memiliki alat reproduksi yang sehat dan jantan. Diantara iring-iringan tersebut terdapat tokoh adat dari masing-masing desa yang terdiri dari tetua adat, lurah, dan mudhin serta pendekar.
Sesampai di depan pintu pagar masuk rumah mempelai wanita, pintu masuk ditutup oleh keluarga mempelai wanita dengan sehelai kain. Prosesi masuk mempelai pria ini dimulai dengan perdebatan yang tidak mencapai kata sepakat yang dalam Bahasa Bawean di sebut memeselan. Karena tidak mencapai kata mufakat, maka terjadilah adu pencak silat diantara kedua belah pihak pendekar pengantin (pencak parese).
Pada malam ini dapat di katakan sebagai puncak kegembiraan pesta dari seluruh rangkaian Upacara Adat Pengantin Bawean. Kedua mempelai naik dan duduk bersanding berdua di pelaminan. Sementara itu diadakan berbagai acara hiburan seperti mandiling, korcak, kercengan, hadrah, dan bhengsawen. Seluruh keluarga dan masyarakat turut bergembira menyaksikan berbagai hiburan yang di gelar.
HARI KE LIMA
Panganten Ater Pandi. Kedua mempelai dimandikan dihalaman rumah mempelai putri dengan disaksikan seluruh keluarga dan warga desa. Selanjutnya seluruh keluarga dan warga desa saling siram. Acara siraman ini dimulai dengan memandikan kedua mempelai oleh seorang modhin perempuan dengan suatu tata cara laku tersendiri dengan ubu rampenya. Setelah selesai kedua mempelai dimandikan, maka semua keluarga saling siram hingga basah kuyup. Keluarga dan handai tolan yang tidak hadir di tempat tersebut di cari kerumah atau tempat kerja masing-masing untuk di siram dan saling siram. Bahkan keluarga yang berada di rantaupun, melakukan saling siram. Pada masyarakat Bawean yang leluhur keturunannya berasal dari suku Mandar atau Bugis Sulawesi, apabila tidak dilangsungkan acara ater pandi, maka pengantinnya akan kesurupan dan pingsan. Untuk menyembuhkannya cara pengobatannya adalah dengan melaksanakan prosesi pengantin ater pandi.
Sore hari atau malam harinya dilangsungkan Panganten Maen. Kedua mempelai diarak diatas pelaminan berkeliling desa dan menuju kerumah mempelai putra.
HARI KEENAM
Diadakan adu pencak silat antar pendekar beserta murid-muridnya yang melibatkan hampir seluruh pendekar pencak silat yang ada di Bawean. Adu ketangkasan seni pencak silat ini merupakan salah satu hiburan yang banyak di gemari oleh Masyarakat Bawean.
HARI KETUJUH
Penganten Nyenyereni. Keluarga pengantin putra membawa perlengkapan rumah tangga dan sejumlah bahan makanan untuk persediaan makan kedua mempelai selama 40 hari dan diantara orang tua saling menitipkan kedua pengantin. Hantaran bahan makanan selama 40 hari tersebut sebagai perlambang tanggung jawab keluarga pengantin laki-laki atas nafkah yang harus dipikul anaknya, yang mana selama 40 hari berdasarkan petuah tidak diperkenankan untuk bekerja.
HARI KEDELAPAN
Panganten Ater Sapo. Penganten putri diantar to’a-to’a membantu pekerjaan ringan dirumah penganten putra. Sekaligus seakan-akan memberi tahu pada keluarga penganten putra, bahwa ia telah melaksanakan kewajiban di malam pertama.

Minggu, 01 Juni 2008

Kubur Purbonegoro

Kubur Purbonegoro berada di kaki bukit Malokok yang termasuk dalam wilayah Desa Gunungteguh Kecamatan Sangkapura. Lokasi kubur Purbonegoro merupakan pekuburan umum bagi masyarakat sekitar lokasi dan lokasi penguburan bagi mereka yang masih memiliki hubungan darah atau keturunan Purbonegoro. Untuk menuju kelokasi kuburan ini cukup mudah karena keletakannya yang masih berada dalam kawasan kota Kecamatan Sangkapura.
Halaman cungkup kubur Purbonegoro yang merupakan kaki bukit Malokok dibuat berundak lima. Setiap undakan diberi dinding talud yang menggunakan batu koral yang dibentuk persegi empat panjang tanpa diberi perekat. Empat dinding talud terbawa, saat ini hampir seluruh bagiannya sudah tertimbun tanah. Sedangkan dinding talud teratas yang sekaligus bersambung dengan pagar, hingga kini masih dapat teramati walaupun pada banyak bagiannya telah runtuh. Pada sisi dalam pagar batu koral ini berdiri bangunan cungkup pertama kubur Purbonegoro yang menggunakan kontruksi tiang kayu. Cungkup kubur ini nampaknya telah mengalami beberapa kali rehab dan penambahan. Dinding cungkup bagian bawah, saat ini telah mengunakan tembok yang dilepa. Sedangkan bagian atasnya berupa terali kayu dengan pintu masuk berada di sisi Selatan. Kondisi bangunan cungkup tersebut dalam keadaan rusak berat.
Didalam bangunan cungkup pertama tersebut terdapat 2 buah bangunan cungkup kedua dan 7 buah kubur. Cungkup kedua yang berada didepan pintu masuk cungkup pertama merupakan cungkup kedua kubur Purbonegoro. Kedua cungkup kubur tersebut menggunakan bahan kontruksi kayu yang walaupun kini dalam keadaan rusak berat dan fragmentaris, namun masih menampakkan kemegahan bentuk dan hiasannya. Begitupula dengan jirat dan nisan kubur yang lainnya, juga menggunakan bahan kayu dengan pola hias yang kompleks yang kini dalam kondisi rusak berat.
Jirat kubur Purbonegoro menggunakan bahan kayu dengan pola hias suluran bunga teratai yang memenuhi hampir seluruh bidang badan jirat yang berundak dua. Namun sayang pada banyak bagian badan jirat undak pertama sudah dalam kondisi fragmentaris. Pada bagian atas setiap undakan di beri hiasan pilar-pilaran yang mengeliling dengan jarak yang sama. Jirat kubur ini memiliki ukuran panjang 296 cm, lebar 157 cm dengan tinggi 78 cm. Nisan kuburnya juga menggunakan bahan kayu yang kondisinya cukup terawat. Nisan ini memiliki hiasan antefik pada keempat sudut pinggangnya. Sisi pinggir nisan diberi hiasan suluran tumbuhan yang mengelilingi bingkai persegi lima. Di dalam bingkai segi lima sisi dalam nisan terdapat kaligrafi yang menyebutkan wafatnya Panembahan Adi pada hari senin, Tanggal 11 Jumadil Akhir Tahun Alif. Sedangkan pada sisi luar nisan di dalam bingkai segi lima diberi hiasan suluran tumbuhan yang memenuhi bidang. Nisan ini memiliki ukuran lebar 23 cm, tebal 17 cm, tinggi 47 cm dengan jarak antar nisan sejauh 122 cm.
Berdasarkan data lisan dan sejarah yang ada di Bawean, Purbonegoro merupakan keturunan Umar Mas’ud yang menjadi penguasa ke-enam dengan gelar pangeran yang pemerintahannya berlangsung antara Tahun 1720-1747 M. Data sejarah dan lisan tersebut berbeda dengan inskripsi yang tertulis di nisan.