Kubur ini terletak di Dusun Tampo Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean Kabupaten Gresik. Kubur tokoh yang bernama Jujuk Tampo ini berada diatas sebuah struktur batu alam yang ditata sedemikian rupa berbentuk meninggi dengan 3 buah teras undakan. Pada setiap teras undakan memiliki bidang datar yang cukup luas, pada teras ketiga teratas ditemukan dua buah kubur dengan dua pasang nisan yang salah satunya dikenal dengan kubur Jujuk Tampo. Hasil survei Balai Arkeologi Yogyakarta Tahun 1986 menyebutkan bahwa kubur ini merupakan bentuk kesinambungan tradisi megalitik yakni punden berundak, yang pada masa awal masuknya Agama Islam di Pulau Bawean berakulturasi dengan tradisi penguburan Islam.
Hingga saat ini tidak ditemukan data yang bisa menerangkan tentang identitas sang tokoh yang dikubur ditempat tersebut secara valid. Foklor setempat hanya menceritakan tentang kejadian proses meninggalnya sang tokoh Jujuk Tampo. Menurut foklor tersebut meninggalnya tokoh Jujuk Tampo adalah akibat dibunuh oleh orang dari Desa Patarselamat yang menuduh Jujuk Tampo sebagai pencuri sapi milik warga Patarselamat yang hilang. Karena tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya, seluruh warga Patarselamat disumpah agar tidak berziarah ke kubur beliau. Apabila ada warga Patarselamat yang melanggar sumpah tersebut, maka di Bawean akan terjadi hujan deras dalam beberapa hari.
Akhir-akhir ini banyak peziarah dari Pulau Jawa yang meyakini bahwa kubur yang dikenal dengan Jujuk Tampo adalah kubur tokoh Sunan Bonang yang merupakan salah satu dari Wali Songo. Konon menurut mereka Sunan Bonang meninggal di Bawean dan dikubur di tempat tersebut. Walaupun sejumlah santri Sunan Bonang dari Tuban konon telah datang untuk memindahkan jasad beliau dari Tampo Bawean ke Tuban, para santri tersebut tidak berhasil mewujudkan keinginannya akibat tidak adanya perahu dan kapal yang mampu mengangkutnya. Setiap kapal yang di coba selalu karam kelebihan muatan. Para santri asal Tuban tersebut akhirnya mengembalikan jasad Sunan Bonang ke kubur di Tampo. Agar mereka tidak kembali dengan tangan hampa, mereka mengambil selapis kain kafan Sunan Bonang guna di bawa dan dikubur di Tuban ?.
Tidak adanya data arkeologi dan history yang bisa menerangkan tokoh yang dikubur dengan julukan Jujuk Tampo tersebut telah pula melahirkan cerita baru yang menghubungkan Jujuk Tampo dengan Laksamana Ceng Hoo ? Saya sendiri tidak menemukan data tentang hubungan diantara keduanya setelah saya baca buku yang baru terbit di tahun 2008 ini. Bukankah intuisi tidak termasuk dalam metodologi ilmu.
Hingga saat ini tidak ditemukan data yang bisa menerangkan tentang identitas sang tokoh yang dikubur ditempat tersebut secara valid. Foklor setempat hanya menceritakan tentang kejadian proses meninggalnya sang tokoh Jujuk Tampo. Menurut foklor tersebut meninggalnya tokoh Jujuk Tampo adalah akibat dibunuh oleh orang dari Desa Patarselamat yang menuduh Jujuk Tampo sebagai pencuri sapi milik warga Patarselamat yang hilang. Karena tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya, seluruh warga Patarselamat disumpah agar tidak berziarah ke kubur beliau. Apabila ada warga Patarselamat yang melanggar sumpah tersebut, maka di Bawean akan terjadi hujan deras dalam beberapa hari.
Akhir-akhir ini banyak peziarah dari Pulau Jawa yang meyakini bahwa kubur yang dikenal dengan Jujuk Tampo adalah kubur tokoh Sunan Bonang yang merupakan salah satu dari Wali Songo. Konon menurut mereka Sunan Bonang meninggal di Bawean dan dikubur di tempat tersebut. Walaupun sejumlah santri Sunan Bonang dari Tuban konon telah datang untuk memindahkan jasad beliau dari Tampo Bawean ke Tuban, para santri tersebut tidak berhasil mewujudkan keinginannya akibat tidak adanya perahu dan kapal yang mampu mengangkutnya. Setiap kapal yang di coba selalu karam kelebihan muatan. Para santri asal Tuban tersebut akhirnya mengembalikan jasad Sunan Bonang ke kubur di Tampo. Agar mereka tidak kembali dengan tangan hampa, mereka mengambil selapis kain kafan Sunan Bonang guna di bawa dan dikubur di Tuban ?.
Tidak adanya data arkeologi dan history yang bisa menerangkan tokoh yang dikubur dengan julukan Jujuk Tampo tersebut telah pula melahirkan cerita baru yang menghubungkan Jujuk Tampo dengan Laksamana Ceng Hoo ? Saya sendiri tidak menemukan data tentang hubungan diantara keduanya setelah saya baca buku yang baru terbit di tahun 2008 ini. Bukankah intuisi tidak termasuk dalam metodologi ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar