Senin, 02 Juni 2008

Penganten Adat Bawean

Pengantin adat Bawean,
digelar sepanjang tujuh siang tujuh malam… !
(Oleh: Iling Khairil Anwar, SS.)
("Prosesi Penganten Adat Bawean ini oleh LEB Beku Bhei-Bhei telah dikemas dalam sebuah seni pertunjukan")
Pernikahan sebagai salah satu dari fase proses kehidupan manusia, oleh manusia Bawean dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Pernikahan dimaknai sebagai utuhnya tanggung jawab seorang anak dan terlepasnya ketergantungan tanggung jawab orang tuanya. Dengan demikian usailah tugas sang orang tua dalam mengasuh, mendidik dan melindungi sang anak. Pada sisi komunitas luas, pernikahan bermakna sebagai lahirnya keluarga baru dilingkungan sosial mereka. Karena itu selain perlu diumumkannya sebuah pernikahan pada masyarakat sebagaimana tuntunan Agama dan tata laku sosial masyarakat Bawean, pernikahan dimeriahkan oleh anggota komunitas masyarakat Bawean sebagai ungkapan kegembiraan atas lahirnya keluarga baru dilingkungan mereka.
Kegembiraan pernikahan tersebut olah masyarakat Bawean dirayakan dan dimeriahkan sedemikian rupa mengikuti kemampuan finansial keluarga yang punya hajat maupun status sosialnya. Sikaya yang dipandang sebagai orang yang berstatus sosial tinggi, tidak akan segan mengeluarkan uang yang begitu banyak demi pengakuan atas statusnya. Bahkan tidak jarang adapula yang menyelenggarakan acara pernikahan melebihi batas kemampuannya hingga melahirkan hutang demi mendapatkan pengakuan dari masyarakat sebagai orang yang berkemampuan dan berstatus sosial yang tinggi. Perayaan itu di Bawean pada umumnya digelar hingga tiga hari tiga malam. Namun pada keluarga kaya, acara pernikahan tersebut bisa saja digelar hingga tujuh siang tujuh malam.
Perjodohan atau pernikahan pada masyarakat Bawean masa dahulu, lebih banyak berdasarkan pilihan orang tua. Orang tua yang memiliki anak laki-laki yang telah dianggap telah cukup umur dan bekal untuk dinikahkan, akan mulai memilih-milih anak gadis untuk di jodohkan dengan anak laki-lakinya. Dalam pemilihan jodoh ini selain kondisi fisik anak gadis yang dimaksud, juga dipertimbangkan mengenai asal-usul, keturunan, dan keadaan ekonomi keluarga bakal calon besannya. Didalam memilih tersebut, selalu dipilihkan bakal calon yang dianggap sepadan. Pencocokan hitungan penjodohan dilakukan dengan sistem penghitungan tersendiri berdasarkan jumlah huruf nama kedua anak tersebut, maupun berdasarkan tanggal lahirnya. Sebelum lamaran ini dilaksanakan, diutus tetua adat kerumah mempelai putri untuk menjajaki kemungkinan dilangsungkannya lamaran, dalam arti apakah keluarga itu belum terikat janji dengan keluarga lain berkenaan dengan anak perempuan yang akan di jodohkan.
Ngalamar (lamaran) tahapan ini merupakan tahapan awal dari seluruh rangkaian prosesi pernikahan. Pada tahap ini orang tua pijak jejaka yang terdiri dari kedua orang tua, keluarga yang dituakan, dan lurah datang kerumah keluarga gadis yang menajdi pilihannya dengan maksud melamar. Lamaran pihak jejaka ini dilain waktu akan dibalas oleh pihak orang tua sang gadis mendatangi rumah keluarga jejaka. Dalam kunjungan balasan ini jika lamaran pihak jejaka diterima, sekaligus ditentukan tanggal pernikahan dan perhelatan yang akan di gelar.
Shokhibul hajat berkunjung kerumah Pak Lorah (lurah) untuk memberi tahu / lapor bahwa mereka akan menyelenggarakan hajatan pernikahan. Melapor kepada lurah dilakukan sekitar 1 atau 2 bulan sebelum dilangsungkan pernikahan. Perlunya melapor kepada lurah karena dalam pelaksanaan perhelatan pernikahan nantinya melibatkan seluruh warga desa di dalam persiapan dan prosesi pernikahannya.
Pemilihan To’a-to’a (tokoh wanita penuh kharisma). To’a-To’a berfungsi sebagai orang ketiga dan penyambung komunikasi kedua mempelai, baik pada pertemuan pertama maupun pada pertemuan malam pertama, karena jodoh yang diterima berdasarkan p ilihan orang tua.
Pengantin putri aokep (pingitan) selama 40 hari, to’a-to’a mulai memerankan tugasnya dalam hal mengajarkan kepada pengantin putri tentang kewajiban, tugas, dan hak sebagai istri didalam sebuah keluarga. Selain itu to’a-to’a juga mengajarkan tentang tata cara melayani suami sesuai dengan tuntunan agama dan tata laku di masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya adalah perawatan badan bagi pengantin putri agar tampil cantik, wangi dan segar dalam acara pernikahan nanti yang berupa A bherse-bherse, yakni Pengantin putri dibedaki (luluran) dengan berbagai ramuan wangi agar pengantin putri nampak cantik, bersih dan wangi. Mamacare yang berupa Mewarnai ujung jari tangan dan kaki serta kuku pengantin wanita dengan daun pacar yang telah ditumbuk halus. Didalam masa 40 hari ini pengantin putri tidak diperkenankan keluar rumah atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar.
HARI PERTAMA
Pagi hingga siang bersamaan dengan mamasang, muda mudi secara bergantian memainkan musik dhungka yang merupakan pertanda sekaligus menghabarkan bahwa ditempat itu akan ada perhelatan pernikahan. Para muda-mudi dan orang-orang tua sibuk dalam kebersamaan gotong royong dalam mendirikan tarop, membersihkan lingkungan sekitar rumah pengantin, menghias dan membuat pelaminan. Ibu-ibu mempersiapkan makanan dan kue-kue untuk perhelatan ini. Seluruh aktifitas persiapan ini dalam Bahasa Bawean disebut mamasang. Keganyangan gotong royong tersebut berlangsung dirumah kedua pengantin.
HARI KEDUA
Mamarase yang berupa memotong bagian depan rambut yang merupakan rambut-rambut kecil dikening pengantin putri. Pemotongan rambut ini dilakukan oleh to’a-to’a dan juru rias. Pagi hari atau Malam harinya dilaksanakan Salamet Kabin dan Akad nikah. Selamatan pernikahan ini dilangsungkan dirumah pengantin pria dan wanita pada waktu yang berbeda di siang hari. Di kedua tempat tersebut mengundang sanak famili, teman, kenalan dan warga kampung lainnya. Pada acara selamatan di tempat pengantin wanita sekaligus dilangsungkan akad nikah dengan di saksikan seluruh hadirin.
Sementara selepas isya’ pengantin wanita duduk di pelaminan dengan pakaian pengantin lengkap yang dalam bahasa bawean disebut “Panganten A’ Totongghu”. Dihadapan pengantin wanita duduk keluarga pengantin wanita dan masyarakat yang ingin menonton pengantin wanita. Panganten A’ totongghu ini memiliki makna sebagai ajang mempertontonkan kepada khalayak bahwa mempelai wanita telah siap untuk menikah. Selain itu pengantin wanita bermaksud menunggu untuk menyaksikan hantaran berbagai perlengkapan rumah tangga dari pihak pengantin pria yang dalam Bahasa Bawean dikenal dengan “Tolong Berang”. Ketika barang hantaran yang terdiri dari berbagai barang keperluan rumah tangga datang yang dibawa oleh keluarga pengantin pria, semua barang tersebut diletakkan di hadapan pengantin wanita dan keluarganya. Barang hantaran tersebut apabila mempelai prianya merupakan anak laki-laki termuda dan terakhir dinikahkan di keluarga tersebut, maka barang bawaannya berupa hasil bumi lengkap, pakaian, meubel, peralatan dapur dan lain-lain. Pada kasus semacam itu, dimasyarakat Bawean di kenal dengan “Nga Bhungkar Sendhi”.
HARI KETIGA
(REPOTNA)

Pagi hari dilaksanakan penyembelihan sapi 1 – 3 ekor atau lebih untuk dihidangkan kepada undangan yang datang dalam perhelatan. Penyembelihan sapi ini di lakukan secara gotong royong oleh pemuda dan bapak-bapak warga desa serta keluarga luas pengantin. Jumlah hewan sapi yang disembelih menjadi salah satu nilai pristise dan status sosial si punya hajat.
Malam hari A’adheng-adheng, yaitu memasak nasi dan lauk untuk acara perhelatan yang dilakukan secara gotong royong oleh ibu-ibu baik keluarga maupun warga desa. Sebagai hiburan pada malam itu disajikan kesenian Jibul.
HARI KEEMPAT
Panganten Matammat-tammat / Nammattaken, yang mana penganten putri membaca Al Qur’an hingga Khatam di pelaminan rumah pengantin wanita dengan di saksikan keluarga pengantin pria, wanita dan masyarakat pada siang hingga sore hari. Acara khataman ini dimaksudkan sebagai uji kemampuan mambaca Al-qur’an bagi pengantin wanita. Kemampuan dalam membaca Al-Qur’an bagi wanita Bawean menjadi prasyarat tersendiri dan sekaligus sebagai perlambang atas muatan pengetahuan agama si pengantin wanita. Setiap selesai pembacaan satu surat Al Qur’an, keluarga mempelai laki-laki dan wanita memberi uang tombhuk ke wadah yang disediakan di hadapan mempelai wanita sebagai ungkapan tingginya kemuliaan wanita yang memiliki pengetahuan agama sebagai bekal calon ibu di dalam keluarga.
Pada malam hari dilangsungkan panganten mole. Mempelai pria dengan pakaian pengantin lengkap diarak dari rumahnya dengan menunggang kuda menuju rumah penganten wanita dengan diantar oleh seluruh keluarga dan warga kampung. Iring-iringan ini dimeriahkan dengan musik kercengan. Ibu-ibu dan perawan membawa kue-kue, sedangkan para perjaka membawa pakaian penganten pria. Pada bagian ujung depan iring-iringan dibawah sebatang tebu utuh dengan daunnya, yang pada bagian atas batangnya di gantung dua buah pinang tua yang telah kuning dan seikat daun sirih sebagai perlambang bahwa mempelai pria memiliki alat reproduksi yang sehat dan jantan. Diantara iring-iringan tersebut terdapat tokoh adat dari masing-masing desa yang terdiri dari tetua adat, lurah, dan mudhin serta pendekar.
Sesampai di depan pintu pagar masuk rumah mempelai wanita, pintu masuk ditutup oleh keluarga mempelai wanita dengan sehelai kain. Prosesi masuk mempelai pria ini dimulai dengan perdebatan yang tidak mencapai kata sepakat yang dalam Bahasa Bawean di sebut memeselan. Karena tidak mencapai kata mufakat, maka terjadilah adu pencak silat diantara kedua belah pihak pendekar pengantin (pencak parese).
Pada malam ini dapat di katakan sebagai puncak kegembiraan pesta dari seluruh rangkaian Upacara Adat Pengantin Bawean. Kedua mempelai naik dan duduk bersanding berdua di pelaminan. Sementara itu diadakan berbagai acara hiburan seperti mandiling, korcak, kercengan, hadrah, dan bhengsawen. Seluruh keluarga dan masyarakat turut bergembira menyaksikan berbagai hiburan yang di gelar.
HARI KE LIMA
Panganten Ater Pandi. Kedua mempelai dimandikan dihalaman rumah mempelai putri dengan disaksikan seluruh keluarga dan warga desa. Selanjutnya seluruh keluarga dan warga desa saling siram. Acara siraman ini dimulai dengan memandikan kedua mempelai oleh seorang modhin perempuan dengan suatu tata cara laku tersendiri dengan ubu rampenya. Setelah selesai kedua mempelai dimandikan, maka semua keluarga saling siram hingga basah kuyup. Keluarga dan handai tolan yang tidak hadir di tempat tersebut di cari kerumah atau tempat kerja masing-masing untuk di siram dan saling siram. Bahkan keluarga yang berada di rantaupun, melakukan saling siram. Pada masyarakat Bawean yang leluhur keturunannya berasal dari suku Mandar atau Bugis Sulawesi, apabila tidak dilangsungkan acara ater pandi, maka pengantinnya akan kesurupan dan pingsan. Untuk menyembuhkannya cara pengobatannya adalah dengan melaksanakan prosesi pengantin ater pandi.
Sore hari atau malam harinya dilangsungkan Panganten Maen. Kedua mempelai diarak diatas pelaminan berkeliling desa dan menuju kerumah mempelai putra.
HARI KEENAM
Diadakan adu pencak silat antar pendekar beserta murid-muridnya yang melibatkan hampir seluruh pendekar pencak silat yang ada di Bawean. Adu ketangkasan seni pencak silat ini merupakan salah satu hiburan yang banyak di gemari oleh Masyarakat Bawean.
HARI KETUJUH
Penganten Nyenyereni. Keluarga pengantin putra membawa perlengkapan rumah tangga dan sejumlah bahan makanan untuk persediaan makan kedua mempelai selama 40 hari dan diantara orang tua saling menitipkan kedua pengantin. Hantaran bahan makanan selama 40 hari tersebut sebagai perlambang tanggung jawab keluarga pengantin laki-laki atas nafkah yang harus dipikul anaknya, yang mana selama 40 hari berdasarkan petuah tidak diperkenankan untuk bekerja.
HARI KEDELAPAN
Panganten Ater Sapo. Penganten putri diantar to’a-to’a membantu pekerjaan ringan dirumah penganten putra. Sekaligus seakan-akan memberi tahu pada keluarga penganten putra, bahwa ia telah melaksanakan kewajiban di malam pertama.

Tidak ada komentar: