Menjadi Bawean
oleh: Iling Khairil Anwar SS
Bawean sebagai daerah kepulauan yang merupakan bagian wilayah Kabupaten Gresik memiliki karakter budaya yang berbeda dengan masyarakat Gresik yang hidup di daratan. Bahkan Antropolog Ayu Sutarto mengelompokkan Bawean sebagai salah satu kelompok etnik yang terdapat di JATIM.
Bawean tak hanya lentiknya daun nyiur ditepi pantai yang ibarat jari perawan, atau derasnya air terjun ringgit dan dolar ibarat rambut terurai, atabe tenangnya air kastoba yang ibarat begawan. Namun ia juga menyimpan budaya yang kilatnya takkalah oleh kilau batu onyx yang banyak di Bawean, dinamisnya tak kalah oleh deburan ombak dipantai, lenggoknya takkalah oleh ikan hias disela terumbu karang.
Budaya Bawean secara historis merupakan hasil sintesa akulturasi dari berbagai budaya yang datang ke Bawean maupun yang dijemput masyarakat Bawean ke daerah asalnya. Akulturasi tersebut telah mewujudkan satu bentuk karakter budaya baru yang unik dan kini dikenal dengan budaya masyarakat Bawean. Imanuel Subangun sosiolog dan wartawan senior KOMPAS pernah menulis tentang Bawean di Harian KOMPAS yang berbunyi, “Sumatra + Jawa + Madura + Kalimantan + Sulawesi = Bawean”. Rumusan Subangun tersebut didasari realitas kultural manusia Pulau Bawean yang merupakan akulturasi dari 5 budaya luar dan budaya Bawean selaku kultur tuan rumah. Hal tersebut terjadi akibat letak geografis Pulau Bawean di tengah Laut Jawa yang merupakan titik temu dari beberapa jalur pelayaran tradisional Nusantara dengan peran Pulau Bawean sebagai pulau transit. Faktor pemicu yang lain adalah kebiasaan alajer (berlayar) hingga keluar negeri masyarakat Bawean yang telah mensejarah dan yang terus hidup hingga saat ini. Hasil akulturasi berbagai budaya tersebut menjadikan kultur Pulau Bawean nampak unik jika dibandingkan wilayah Gresik pesisir dan daratan.
Mariam bin Moh. Ali (1997) menyatakan bahwa budaya Bawean sebagai wujud yang terbentuk dari masyarakat diaspora, merupakan sebuah fenomena yang dinamis. Lebih lanjut Mariam menyatakan, fenomena tersebut tidak dapat dikhususkan pada satu tempat atau satu ciri pokok saja. Ia memiliki berbagai manifestasi yang telah disesuaikan dengan lingkungan prakteknya. Hal tersebut nampak pada fariasi penggunaan Bahasa Bawean sebagai salah satu contoh.
Adalah Jacob Vredenbregt seorang antropolog berkebangsaan Belanda yang meneliti budaya masyarakat Bawean antara Tahun 1962-1965 yang menyatakan bahwa masyarakat Bawean memiliki tradisi bermigrasi. Hasil Census of the Colony of Singapore 1849 menyatakan bahwa warga Bawean di Singapore terdapat sebanyak 763 jiwa yang dikenal dengan sebutan Etnis Boyan.
Faktor lain pembentuk budaya Bawean adalah historis pulau ini. Menurut Khairil (1998, 2000, 2002) Faktor religi masyarakat pulau Bawean di ketahui bahwa konon masyarakat Bawean juga menganut animisme dinamisme sebagai bentuk religi tertuanya. Kemudian masuk dan berkembang agama Budha di Pulau Bawean dengan bukti ditemukannya arca Dwarapala berciri ikonografis Budha dan stupika tanah liat. Selanjutnya baru berkembang Agama Islam yang kini menjadi agama utama seluruh masyarakat Bawean. Khairil juga menuliskan bahwa faktor politik yang terjadi atas pulau ini juga banyak berpengaruh terhadap wujud etnis Bawean. Keletakan Pulau Bawean yang berada ditengah laut jawa sangatlah strategis sebagai pulau transit perdagangan lintas pulau dan negara di masa lalu dalam memenuhi kekurangan perbekalan dalam pelayaran. Akibatnya Pulau Bawean tercatat telah diperebutkan oleh banyak kerajaan di sepanjang masa. Prasasti Sorodakan menyebutkan bahwa Bawean yang mungil berada di bawa kekuasaan Majapahit. De Graff menuliskan bahwa pada tahun 1593 Bawean berada di bawah kekuasaan Jepara, tahun 1622 telah mengakui kekuasaan Surabaya atasnya, tahun 1659 datang Mataram sebagai penguasa, kemudian Cakraningrat dari Madura menggantikannya sebelum diambil alih bangsa eropa di tahun 1784 M. Sebagai transit perdagangan laut, segalibnya orang-orang dari Sulawesi, Kalimantan dan pulau dan negara lainnya juga berlabuh di pantai Bawean dan bergaul dengan masyarakat yang ada. Ragam asal budaya yang datang maupun dijemput masyarakat Bawean keluar pulaunya, yang terus berproses sepanjang masa dengan berpijak pada lingkungan fisik pulaunya yang mungil dan mini, melahirkan wujud budaya yang melengkapi keberadaan kelompok etnik Jawa Timur menjadi 10 kelompok etnik dengan etnik Bawean sebagai salah satunya.
oleh: Iling Khairil Anwar SS
Bawean sebagai daerah kepulauan yang merupakan bagian wilayah Kabupaten Gresik memiliki karakter budaya yang berbeda dengan masyarakat Gresik yang hidup di daratan. Bahkan Antropolog Ayu Sutarto mengelompokkan Bawean sebagai salah satu kelompok etnik yang terdapat di JATIM.
Bawean tak hanya lentiknya daun nyiur ditepi pantai yang ibarat jari perawan, atau derasnya air terjun ringgit dan dolar ibarat rambut terurai, atabe tenangnya air kastoba yang ibarat begawan. Namun ia juga menyimpan budaya yang kilatnya takkalah oleh kilau batu onyx yang banyak di Bawean, dinamisnya tak kalah oleh deburan ombak dipantai, lenggoknya takkalah oleh ikan hias disela terumbu karang.
Budaya Bawean secara historis merupakan hasil sintesa akulturasi dari berbagai budaya yang datang ke Bawean maupun yang dijemput masyarakat Bawean ke daerah asalnya. Akulturasi tersebut telah mewujudkan satu bentuk karakter budaya baru yang unik dan kini dikenal dengan budaya masyarakat Bawean. Imanuel Subangun sosiolog dan wartawan senior KOMPAS pernah menulis tentang Bawean di Harian KOMPAS yang berbunyi, “Sumatra + Jawa + Madura + Kalimantan + Sulawesi = Bawean”. Rumusan Subangun tersebut didasari realitas kultural manusia Pulau Bawean yang merupakan akulturasi dari 5 budaya luar dan budaya Bawean selaku kultur tuan rumah. Hal tersebut terjadi akibat letak geografis Pulau Bawean di tengah Laut Jawa yang merupakan titik temu dari beberapa jalur pelayaran tradisional Nusantara dengan peran Pulau Bawean sebagai pulau transit. Faktor pemicu yang lain adalah kebiasaan alajer (berlayar) hingga keluar negeri masyarakat Bawean yang telah mensejarah dan yang terus hidup hingga saat ini. Hasil akulturasi berbagai budaya tersebut menjadikan kultur Pulau Bawean nampak unik jika dibandingkan wilayah Gresik pesisir dan daratan.
Mariam bin Moh. Ali (1997) menyatakan bahwa budaya Bawean sebagai wujud yang terbentuk dari masyarakat diaspora, merupakan sebuah fenomena yang dinamis. Lebih lanjut Mariam menyatakan, fenomena tersebut tidak dapat dikhususkan pada satu tempat atau satu ciri pokok saja. Ia memiliki berbagai manifestasi yang telah disesuaikan dengan lingkungan prakteknya. Hal tersebut nampak pada fariasi penggunaan Bahasa Bawean sebagai salah satu contoh.
Adalah Jacob Vredenbregt seorang antropolog berkebangsaan Belanda yang meneliti budaya masyarakat Bawean antara Tahun 1962-1965 yang menyatakan bahwa masyarakat Bawean memiliki tradisi bermigrasi. Hasil Census of the Colony of Singapore 1849 menyatakan bahwa warga Bawean di Singapore terdapat sebanyak 763 jiwa yang dikenal dengan sebutan Etnis Boyan.
Faktor lain pembentuk budaya Bawean adalah historis pulau ini. Menurut Khairil (1998, 2000, 2002) Faktor religi masyarakat pulau Bawean di ketahui bahwa konon masyarakat Bawean juga menganut animisme dinamisme sebagai bentuk religi tertuanya. Kemudian masuk dan berkembang agama Budha di Pulau Bawean dengan bukti ditemukannya arca Dwarapala berciri ikonografis Budha dan stupika tanah liat. Selanjutnya baru berkembang Agama Islam yang kini menjadi agama utama seluruh masyarakat Bawean. Khairil juga menuliskan bahwa faktor politik yang terjadi atas pulau ini juga banyak berpengaruh terhadap wujud etnis Bawean. Keletakan Pulau Bawean yang berada ditengah laut jawa sangatlah strategis sebagai pulau transit perdagangan lintas pulau dan negara di masa lalu dalam memenuhi kekurangan perbekalan dalam pelayaran. Akibatnya Pulau Bawean tercatat telah diperebutkan oleh banyak kerajaan di sepanjang masa. Prasasti Sorodakan menyebutkan bahwa Bawean yang mungil berada di bawa kekuasaan Majapahit. De Graff menuliskan bahwa pada tahun 1593 Bawean berada di bawah kekuasaan Jepara, tahun 1622 telah mengakui kekuasaan Surabaya atasnya, tahun 1659 datang Mataram sebagai penguasa, kemudian Cakraningrat dari Madura menggantikannya sebelum diambil alih bangsa eropa di tahun 1784 M. Sebagai transit perdagangan laut, segalibnya orang-orang dari Sulawesi, Kalimantan dan pulau dan negara lainnya juga berlabuh di pantai Bawean dan bergaul dengan masyarakat yang ada. Ragam asal budaya yang datang maupun dijemput masyarakat Bawean keluar pulaunya, yang terus berproses sepanjang masa dengan berpijak pada lingkungan fisik pulaunya yang mungil dan mini, melahirkan wujud budaya yang melengkapi keberadaan kelompok etnik Jawa Timur menjadi 10 kelompok etnik dengan etnik Bawean sebagai salah satunya.
2 komentar:
Assalamualikum Wr.Wb
Saya sebagai keterunan bawean sangat berharap sekali bawean nantinya jadi pulau wisata terutama wisata religi yg patut diperhitungkan oleh masnyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat indonesia pada khususnya.
Pada anggota LEB BEKU Bhei-Bhei sangat besar harapan kami agar selalu bisa menjaga dan memajukan pulau bawean.
"Imanuel Subangun sosiolog dan wartawan senior KOMPAS pernah menulis tentang Bawean di Harian KOMPAS yang berbunyi, “Sumatra + Jawa + Madura + Kalimantan + Sulawesi = Bawean”. Rumusan Subangun tersebut didasari realitas kultural manusia Pulau Bawean yang merupakan akulturasi dari 5 budaya luar dan budaya Bawean selaku kultur tuan rumah. Hal tersebut terjadi akibat letak geografis Pulau Bawean di tengah Laut Jawa yang merupakan titik temu dari beberapa jalur pelayaran tradisional Nusantara dengan peran Pulau Bawean sebagai pulau transit." ... saya sangat setuju sekali pada pendapat ini. Saya juga berpendapat yang sedemikian. Ia begitu tepat menjelaskan asal keturunan/budaya orang-orang bawean.
Posting Komentar